Dosen Sejarah UNAIR Imbau Masyarakat Tingkatkan Literasi Terkait Munculnya Kerajaan Fiktif

  • Whatsapp

SURABAYA, Beritalima.com|
Belakangan ini marak terjadi kemunculan keraton atau kerajaan fiktif di Indonesia, seperti Keraton Agung Sejagat. Menanggapi hal tersebut, Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Adrian Perkasa S.Hum., M.A. menghubungkan fenomena tersebut dengan perspektif revivalisme.

“Saya pikir dan pas sekiranya kita menganalisis fenomena tersebut dengan konsep revivalisme,” paparnya.

Adrian mengawali topik soal kemunculan keraton abal-abal.
Dipaparkan Adrian, revivalisme menurut Henley dan Davidson (2008) yaitu ide akan kebangkitan kejayaan suatu masa keemasan kerajaan pada masa lalu. Adrian menjelaskan, munculnya istilah revivalisme berawal dari tradisi kristiani kemudian berkembang hingga kini.

“Kemunculan revivalisme di Indonesia akhir-akhir ini sangat berkaitan dengan perkembangan pasca-reformasi,” jelasnya.

Adrian melanjutkan bahwa sebenarnya fenomena itu sudah mengemuka secara massif sejak lunturnya otoritas yang sentralistik. “Pada awalnya, reformasi menunjukkan optimisme terhadap perubahan ke arah yang lebih baik justru menghasilkan tatanan yang dianggap lebih kacau,” imbuhnya.

Di tengah derasnya arus modenisme segelintir masyarakat masih meyakini unsur magis dan keinginan membangkitkan kejayaan nusantara seperti dulu. Fenomena itu muncul tak hanya di Jawa. Contohnya di Sumbawa tiba-tiba muncul kerajaan dimana terdapat masyarakat adat. Pendukung kerajaan tersebut bukanlah masyarakat adat, justru perusahaan besar.
“Kita bisa lihat bahwa revivalisme semacam ini rentan ditunggangi oleh tokoh-tokoh yang sengaja ingin memanfaatkan keyakinan orang-orang tertentu,” jelas dosen yang pernah menempuh studi S1 Hubungan Internasional itu.

Hal itu merupakan kesempatan besar bagi beberapa tokoh tertentu untuk berkuasa, mencari uang, atau menungganginya untuk kepentingan ekonomi, politik, dan lainnya.
Terdapat berbagai faktor masyarakat Indonesia yang rentan percaya terhadap kerajaan fiktif tersebut. Pertama, meyakini kepercayaan dengan sungguh, masih percaya akan adanya unsur magis dari seorang tokoh. Kedua, karena faktor struktural, dimana situasi pasca-reformasi dianggap lebih kacau sehingga banyak orang mencari alternatif.

“Fenomena ini mirip dengan maraknya orang-orang yang berobat di pengobatan tradisional dari pada pengobatan mengikuti ilmu medis yang berkembang. Mencari jalur alternatif lain,” ujar Adrian.

Meski demikian, Adrian menyayangkan penangkapan Raja dan Ratu KAS tersebut. Menurutnya, belum tentu mereka melakukan tindakan pidana. “Jika korban merasa tertipu tinggal dilaporkan saja, tinggal pihak berwajib mengusutnya, “ujarnya.

Menyikapi fenomena tersebut, Adrian menyarankan masyarakat untuk meningkatkan literasi, tidak mudah menertawakan atau memviralkan, dan juga harus melibatkan peran sejarawan.
“Sekali lagi sejarawan juga harus sering tampil ke publik, karya-karyanya juga harus dikonsumsi untuk masyarakat, terangnya. (yul)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait