SURABAYA, Beritalima.com |
Rencana pemerintah Jepang membuang limbah nuklirnya ke laut menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak kecaman, khususnya dari negara tetangganya. Hal itu disebut dapat merusak dan mencemari lingkungan dan juga biota laut.
Dr. Eng. Intan Nurul Rizki, S.Si., M.T dosen Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga (UNAIR) pada Rabu (5/5/2021), mengatakan bahwa limbah nuklir sendiri mengandung banyak zat radioaktif, seperti tritium, iodine, selenium, karbon-14. Zat-zat tersebut dapat menimbulkan dampak yang cukup serius dan bahaya bagi makhluk hidup.
“Dampak yang ditimbulkan oleh zat radioaktif tersebut sifatnya akumulatif. Akan terlihat setelah 5, 10, bahkan 20 tahun yang akan datang. Akumulasi terjadi pada biota laut yang terhubung dalam rantai makanan. Lalu, dikonsumsi manusia. Akibatnya bisa jadi pencetus kanker, gangguan janin, cacat fisik, cacat organ tubuh, berkurangnya umur manusia, mutasi DNA pada mikroorganisme, kerusakan DNA sel manusia, dan banyak lainnya,” paparnya.
Sebelum dibuang ke laut, limbah nuklir Jepang telah melalui proses yang dinamakan Advanced Liquid Processing System (ALPS). Melalui proses tersebut, sebagian besar zat radioaktif yang terkandung hilang. Zat radioaktif yang masih terkandung dalam limbah tersebut contohnya adalah tritium.
“Saat saya belajar di Jepang, salah satu laboratorium pernah melakukan penelitian, mengembangkan suatu material adsorbent untuk menyerap limbah cair radioaktif. Hasilnya, material tersebut memiliki efisiensi 90-99% dalam menghilangkan zat radioaktif tersebut. Sehingga, sisa kandungan radioaktif di limbah cair mendekati 0. Jadi, akan sangat aman jika limbah tersebut dibuang ke lingkungan,” jelas Intan.
Tokyo Electric Power Company (TEPCO) mengatakan, tritium dan bahan radioaktif termasuk karbon-14 akan melalui pengolahan sekunder, sehingga akan berkurang sebanyak mungkin. Sementara itu, menurut Universitas Sheffied Inggris, tritium yang telah dilepaskan ke laut oleh negara-negara lain, menimbulkan dampak yang rendah bagi organisme.
“Tritium sangat mungkin terdegradasi alami. Karena zat radioaktif punya paruh waktu. Permasalahannya paruh waktu yang dibutuhkan adalah 12 tahun. Jika menunggu tritium terdegradasi alami, akan memakan waktu yang sangat lama,” paparnya.
Ia menambahkan, tritium harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut. Regulasi pengolahan tritium ini sudah tercantum di International Atomic Energy Agency (IAEA). Di dalam regulasi tersebut juga terdapat batas tritium dan karbon-14 yang boleh masuk ke dalam tubuh manusia.
Menurutnya, untuk meredakan kontroversi yang ada Jepang sebaiknya berdiskusi terlebih dahulu dengan China dan negara-negara lain yang memiliki PLTN, untuk menyamakan presepsi dalam pengolahan dan mencari cara paling efisien dalam mengelola limbah nuklir tersebut. Sehingga, mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan. (Yul)