Jakarta, beritalima.com| – Anggota Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Hj. Evi Apita Maya kritik praktik penyaluran dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dinilai sulit diperoleh masyarakat dan masih jauh dari semangat keberpihakan kepada pelaku usaha kecil.
Dalam kunjungannya ke Kantor Gubernur NTB (17/10), Evi menyatakan masih banyak bank Himbara meminta agunan kepada masyarakat, padahal kebijakan pemerintah sudah jelas meniadakan syarat jaminan untuk pinjaman di bawah Rp100 juta.
Kunjungan tersebut diterima langsung Gubernur NTB H. Lalu Muhammad Iqbal bersama jajarannya. Agenda ini merupakan tindak lanjut pengawasan DPD RI atas pelaksanaan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Evi menjelaskan, pengawasan yang dilakukan Komite IV DPD RI fokuw pada peredaran dana Rp200 triliun yang disalurkan Kementerian Keuangan kepada bank-bank Himbara, seperti BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI.
“Kami di Komite IV DPD RI turun ke 38 provinsi untuk memastikan dana Rp200 triliun ini benar-benar sampai ke masyarakat. Ada bank yang penyerapannya hampir 100 persen, tapi ada juga yang baru separuh, bahkan belum jalan sama sekali,” ungkap Evi kepada wartawan.
Menurutnya, dari total Rp200 triliun tersebut, Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun. Namun, tidak semua berhasil menyalurkan dengan optimal karena kendala administratif dan praktik jaminan yang tidak sesuai aturan.
“Untuk pinjaman antara Rp1 juta hingga Rp100 juta, tidak boleh ada agunan, itu sudah diatur dalam Peraturan Menko Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023. Jadi kalau masih ada masyarakat yang disuruh menyerahkan jaminan, itu pelanggaran,” terang Senator asal NTB tersebut.
Diakui Evi telah meminta seluruh pimpinan Himbara di NTB untuk segera menertibkan praktik penahanan agunan yang dialami masyarakat penerima KUR. Ia mengimbau masyarakat untuk melapor langsung ke DPD apabila masih diminta jaminan pihak bank.
“Dalam beberapa hari ini kami turun langsung ke lapangan. Saya sampaikan ke masyarakat, kalau masih ada agunan yang disimpan bank untuk pinjaman KUR, tolong segera minta kembali,” ujarnya.
Lebih jauh, Evi mengingatkan bahwa praktik pelanggaran kebijakan ini dapat berujung pada sanksi finalti bagi pihak bank. Ia menilai perilaku semacam ini berpotensi menjadi penghambat utama rendahnya penyerapan KUR di daerah, karena banyak UMKM enggan meminjam akibat takut kehilangan aset.
“Ada pelaku UMKM di Zamzam Tower yang mau beli oven Rp100 juta, tapi gagal karena disuruh setor agunan. Padahal syarat KUR itu sederhana—cukup usaha minimal enam bulan, surat keterangan usaha, KTP, dan KK,” kisahnya.
Selain KUR, Evi menyinggung program Koperasi Desa Merah Putih yang bisa menjadi alternatif pembiayaan dengan bunga rendah dua persen, meski koperasi tersebut belum berjalan enam bulan. Namun, tetap harus memenuhi persyaratan administratif tertentu.
Jurnalis: rendy/abri

