JAKARTA, Beritalima.com– Masih banyak pekerja migran Indonesia yang mengadukan nasibnya melalui jalur ilegal. Padahal Menteri Tenaga Kerja telah mengeluarkan Peraturan Menteri No: 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan, khususnya sektor pembantu rumah tangga di seluruh negara Timur Tengah.
Ini terungkap dalam kunjungan kerja anggota DPD RI ke Dubai, Uni Emirat Arab, 26-30 November 2019. “Permasalahan Pekerja Migran Indonesia ada dari hulu hingga hilir. Ujung dari permasalahan itu, nasib pekerja migran Indonesia masih mengkhawatirkan,” kata Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin dalam keterangan tertulis, Minggu (1/12).
Ya, rombongan anggota DPD RI melakukan Kunjungan Kerja ke Konjen di Dubai dan Kedubes RI di Abu Dhabi, UEA dalam rangka Pengawasan Pelaksanaan UU No: 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pekan lalu.
Rombongan beranggotakan Dedi Iskandar Batubara, Badikenita Br Sitepu, Muhammad J Wartabone, Hasan Basri, Iskandar Muda Baharudin Lopa, Hj. Yustina Ismiati, Ahmad Kanedin Abdul Rahman Thaha itu dipimpin Konjen RI di Dubai, Ridwan Hasan dan Pekerja Migran Indonesia di Dubai.
Mahyudin melihat kompleksitas permasalahan Pekerja Migran Indonesia ilegal, mulai dari pemalsuan dokumen perjalanan, rendahnya keterampilan pekerja, kurangnya informasi tentang sponsor atau agen yang mengirim pekerja migran Indonesia dan regulasi yang belum memihak sepenuhnya kepada pekerja migran Indonesia.
Karena itu, kunjungan ini bertujuan untuk memperoleh berbagai informasi terkini dalam memetakan permasalahan pekerja migran sebagai bahan perumusan pertimbangan dan keputusan DPD RI dalam fungsi pengawasan dan penyempurnaan legislasi, khususnya tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Soal pekerja migran ilegal Indonesia yang menghuni shelter, menurut Konjen RI karena selama ini Dubai menjadi sub yang menghubungkan dengan beberapa kota di UEA dan beberapa negara lainnya seperti Eropa, Afrika, Amerika dan Asia lainnya.
Selama ini pekerja migran Indonesia ilegal menggunakan visa turis untuk melakukan perjalanan ke Dubai. Tiba di Dubai, mereka dijemput sponsor atau agen untuk disalurkan ke kota atau negara yang dituju tanpa ada kepastian atau kejelasan dimana mereka akan ditempatkan.
Akhirnya banyak pekerja migran Indonesia ilegal yang terlantar di Dubai dan ditampung di shelter KJRI Dubai. Saat ini ada 100 WNI yang menghuni shelter untuk menunggu pemulangan mereka ke tanah air.
Selain itu, sekitar 20 pekerja migran Indonesia ilegal masuk ke shelter setiap bulan dengan segala permasalahan. KJRI Dubai ibarat melakukan tugas “cuci piring” atas permasalahan pekerja migran Indonesia ilegal itu.
KJRI Dubai mengharapkan adanya regulasi untuk melindungi pekerja migran Indonesia untuk memperoleh jaminan kelamatan, pendidikan keterampilan, khususnya sejak dari Indonesia. Selama ini, 80 persen pekerja migran Indonesia di UEA bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Mereka menceriterakan perjalanannya menuju Dubai atau negara lain yang diatur sponsor atau agen, tanpa mereka mengetahui akan ditempatkan dimana atau dengan siapa mereka akan bekerja.
Para pekerja ini hanya dijanjikan bekerja dengan gaji tinggi. “Saya hanya dijanjikan kerja dengan majikan yang baik dan digaji tinggi. Saat bekerja, saya sering dianiaya, gaji hanya diberikan dua bulan pertama, selanjutnya gaji kami tidak dibayar,” kata Imas, pekerja migran Indonesia dari Garut, Jawa Barat.
Mahyudin menyoroti Peraturan Menteri No: 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan atau moratorium ke khususnya sektor pembantu rumah tangga di seluruh negara Timur Tengah.
Sejak moratorium, masih banyak pekerja migran Indonesia ilegal bekerja di Timur Tengah, “Moratorium perlu ditinjau ulang, karena dimanfaatkan sponsor atau agen yang tidak bertanggungjawab, pekerja migran Indonesia ilegal, sebagian besar bekerja sebagai pekerja rumah tangga, sangat rentan dan lemah kepada pihak ketiga sehingga tak ada lagi perlindungan,” kata Mahyudin.
(akhir)