JAKARTA, Beritalima.com– DPD RI berpandangan, pembhasan revisi UU No: 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua memberi koridor yang lebih baik buat pelaksanaan Otsus di tanah Papua ke depan karena ada peningkatan Alokasi Dana Otsus 2,25 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional serta perbaikan dalam tata kelola Dana Otsus.
Itu disampaikan Anggota Komite I DPD RI dari Dapil Provinsi Papua, Filep Wamafma saat menyampaikan pandangan DPD RI terkait pembahasan lanjutan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Otsus Papua secara tripartit bersama DPR RI dan Pemerintah di Jakarta, Senin (12/7).
“RUU ini telah memberikan terobosan yang memberikan pengaruh lebih luas buat Orang Asli Papua (OAP) untuk maju, berkembang serta menjadi tuan di daerahnya melalui pemberdayaan ekonomi, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan,” ucap Filep.
Senator dari Dapil Provinsi Papua Barat tersebut mengatakan, DPD RI menyambut baik, keputusan-keputusan bijak dan adil buat OAP dalam pemenuhan salah satu hak dasar di bidang politik yaitu ada Keanggotaan DPRD/DPRK yang diangkat di setiap Kabupaten/Kota di wilayah Papua.
Selain itu, juga ada perhatian buat masyarakat adat terkait kompensasi terhadap bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA), pembentukan Badan Otsus yang melaksanakan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, koordinasi pelaksanaan Otsus dan pembangunan di Papua dalam mengoptimalkan arah dan kebijakan pembangunan dengan tetap memperhatikan kesiapan infrastruktur dasar setiap daerah dan memperhatikan kesatuan wilayah adat.
Berkaitan dengan pemekaran di wilayah Papua, DPD RI berpandangan, pembentukan daerah otonom harusnya tak hanya bertujuan mendekatkan kendali, perbaikan layanan pada masyarakat, percepatan pembangunan. Namun, juga sebagai bentuk penghargaan terhadap keberadaan satuan masyarakat adat yang ada di tanah Papua.
DPD RI memberikan catatan keterlibatan DPRP dan MRP diharapkan tidak hanya diatas kertas melainkan benar-benar dilibatkan dan menjadi dasar pertimbangan utama dalam pemekaran Provinsi Papua. Keterlibatan DPRP dan MRP menjadi penting agar kemudian hari pemekaran tidak lagi menjadi sumber konflik di tanah Papua melainkan pintu harmonisasi pembangunan dan kesejahteraan.
“Keterlibatan MRP dan DPRP dalam proses pemekaran di tanah Papua merupakan bagian yang harus dihargai dan di hormati, keterwakilan MRP merupakan representasi adat, agama serta perempuan sehingga apapun kebijakan di daerah yang berpedoman pada sistem Otonomi Khusus dengan tetap mengutamakan aspirasi dari rakyat Asli Papua melalui MRP dan DPRP,” ucap Filep.
Pria paroh baya ini memandang ada hal politik yang sangat berdampak terhadap sejarah peradaban bangsa Indonesia di Papua serta sejarah lahirnya UU No: 21/2001 yang dihilangkan dalam RUU ini. Nilai historis dari UU ini tidak boleh dikesampingkan apalagi dihilangkan.
Pemenuhan syarat pembentukan suatu UU, kata Filep, harus memenuhi syarat formal yaitu yuridis, sosiologis, filosofis dan historis. Hal inilah menurut DPD RI telah hilang dalam RUU ini. DPD RI menekankan agar roh dari UU Otsus dikembalikan.
“Sebab itu, DPD RI tidak setuju jika perubahan konsideran menimbang yang menghilangkan histori UU No: 21/2001 dan meminta konsideran huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k tetap dinyatakan berlaku,” kata pria kelahiran Biak, 14 Juni 1978 tersebut.
DPD RI juga berpendapat, walau telah diberikan afirmasi bagi OAP dalam kursi DPRK melalui mekanisme Pengangkatan, hal itu tida serta merta menghilangkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU No: 21/2001 sebagaimana disebutkan Rekrutmen oleh Partai Politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli papua. Partai Politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik masing-masing, tetap dinyatakan berlaku.
Filep menilai, Otsus seperti disebutkan dalam UU ini, yaitu kewenangan khusus yang diberikan dan diakui baik Negara maupun Pemerintah pada Pemda untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar OAP.
DPD RI berpendapat, kewenangan khusus ini merupakan segala sesuatu yang lex specialis sehingga segala ketentuan hukum (peraturan perundang-undangan) maupun kebijakan pemerintah di Tanah Papua wajib menghargai dan menghormati keberlangsungan UU ini.
“DPD RI mengingatkan Pemerintah, lahirnya UU ini untuk melindungi harkat dan martabat, memberdayakan OAP, melindungi dan menghormati hak-hak dasar OAP baik secara pribadi, masyarakat adat maupun secara komunal,” ucap Filep.
Dijelaskan,
DPD RI akan konsisten melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU Otsus Papua dan meminta pemerintah segera menyusun Peraturan Pelaksanaan UU ini agar dapat segera diimplementasikan dan dirasakan dampaknya buat masyarakat Papua.
DPD RI juga berharap, dalam menyusun Peraturan Pemerintah hendaknya tetap patuh, komitmen memperkuat kewenangan dan kedudukan hukum UU Otsus Papua dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya tanpa harus mengamputasi hak dan kewenangan pemerintah daerah dan OAP.
Sebagai UU bersifat lex spesialis yang berisikan hal-hal sangat baik, tak akan berarti bila tidak dapat diimplementasikannya.
DPD RI berharap pemerintah tidak hanya fokus terhadap kemajuan SDM dan Infrastruktur, tetapi harus memperhatikan hak-hak dasar OAP, terutama hak untuk hidup yang bebas di atas tanahnya.
DPD RI juga mendorong persoalan pelanggaran HAM yang sampai saat ini belum ada titik penyelesaiannya. DPD RI berharap dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua melalui pendekatan yang berbeda, yaitu Pendekatan Dialog, menurut nilai-nilai kearifan yang ada di Papua,” imbuh Filep.
Senator dari Provinsi Papua, Yorrys Raweyai menilai UU Revisi Otsus Papua kedua ini akan meletakkan sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Ia menilai, pembahasan RUU itu sebagai bentuk pencarian solusi dan upaya dari semua pihak untuk memberikan yang terbaik bagi tanah Papua dan bangsa Indonesia.
“Dan, ini menjadi hadiah tersendiri dalam rangka 76 tahun kemerdekaan pada 17 Agustus mendatang di bawah Pemerintahan Jokowi yang akan memberikan hadiah khusus bagi Papua dengan revisi UU ini,” demikian Filep Wamafma. (akhir)