JAKARTA, Beritalima.com– Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mendukung transmigrasi sebagai program Pemerintah Pusat yang telah menyimpan berkah buat masyarakat.
Namun, transmigrasi itu menyimpan potensi konflik vertikal pemerintah dengan masyarakat seperti terjadi di Tumokang, Mopugat dan Mopuya Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara yang kasus ganti rugi tanah belum selesai sampai saat ini.
Hal itu terungkap dalam RDP Komite I DPD RI dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Transmigrasi, Pemprov Sulawesi Utara dan Pemkab Bolaang Mongondouw di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/12). Agenda RDP membahas soal penyelesaian tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow.
Dikatakan Benny, 1.113 pemilik tanah yang dijadikan lahan transmigrasi oleh pemerintah pusat, menang dalam proses peradilan sampai dengan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung (MA). Putusan MA, Pemerintah RI diwajibkan membayar ganti rugi atas tanah 1.495,5 hektar dengan total Rp 52,167.500.000 miliar.
“Saya sudah mengawal kasus ini sejak 2000. Melalui Dirjen Kemendes, Pak Menteri Desa juga sudah menjanjikan kepada untuk diselesaikan pembayarannya di APBN 2019,” tegas Benny.
Menurut catatan Komite I DPD RI, berdasarkan sejarah, tanah itu adalah yang ditumpas dan digarap warga 1956–1965. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan PKI, warga meninggalkan lokasi itu. Sekitar 1971–1975 lokasi itu diambil alih pemerintah dan diserahkan kepada transmigran dari Pulau Jawa dan Bali, melalui SK Gubernur Sulut, 24 Oktober 1972.
Ditambahkan Benny, pada era Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nua Wea, sekelompok masyarakat yang lain di Bolmong pernah melakukan gugatan serupa diwilayah yang lain.
Tanpa melalui proses peradilan, masyarakat menang dan pemerintah kemudian membayar ganti rugi. Pembayaran ganti rugi saat itu sharing antara Pusat 70, Provinsi Sulut 10 dan Kabupaten 20 persen. “Mohon ini bisa jadi rujukan bagi pemerintah,” tegas Benny.
Dalam kesempatan RDP ini, Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT, Anwar Sanusi menyampaikan bahwa pihaknya bersikeras tetap mengacu pada pertemuan 7 November 2018 di Kemendes.
Dari pertemuan itu pemerintah akan melakukan upaya hukum luar biasa yaitu PK dalam mensikapi putusan MA. Untuk menindaklanjutinya, jelas Anwar, pemerintah membentuk Tim Bersama yang melibatkan unsur Pusat maupun Pemerintah daerah.
“Loh kok sekarang pemerintah malah mau mengajukan PK ke Mahkamah Agung? Pemerintah sudah membangkang terhadap keputusan MA. Sepertinya Kemendes mau buang badan. Pemerintah malah set back,” demikian Benny Rhamdani. (akhir)