DPM Fakultas Hukum UNTAG Surabaya Simpulkan Ada Pelanggaran HAM di Kasus Mantan Pemain OCI

  • Whatsapp

Surabaya – Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) belakangan ini mengguncang nurani publik. Kasus eksploitasi dan kekerasan sistemik yang terjadi sejak era 1970-an hingga 1990-an itu kini menjadi sorotan serius kalangan akademik.

Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (DPM FH Untag) Surabaya mengambil langkah progresif dengan melakukan kajian kritis terhadap kasus ini, yang belakangan ramai diperbincangkan usai para korban tampil dalam sejumlah podcast dan acara televisi nasional.

Dugaan pelanggaran yang dialami para mantan pemain sirkus OCI bukan hanya mencerminkan kelalaian masa lalu, tetapi juga menunjukkan kelumpuhan sistem perlindungan anak dan HAM di Indonesia.

Dalam temuan awal DPM FH Untag, para korban mayoritas perempuan mengaku direkrut sejak usia dini, bahkan ada yang mulai tampil di atas panggung sejak umur dua tahun. Selama bertahun-tahun, mereka bekerja tanpa pendidikan, tak mengenal identitas diri, dan mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik serta psikis.

Eksploitasi dan Kekerasan Sistemik

Kesaksian para korban menggambarkan penderitaan yang begitu mengerikan. Mereka dipaksa tampil meski dalam keadaan sakit, dipukul, disetrum, bahkan dipisahkan dari anak kandung. Lebih memilukan, beberapa mengaku pernah dipaksa memakan kotoran hewan sebagai bentuk hukuman.

Nama-nama pendiri Taman Safari, seperti Hadi Manansang dan Tony Sumampouw, turut disebut dalam kesaksian korban sebagai pihak yang mengetahui, bahkan diduga terlibat dalam praktik eksploitatif tersebut. Meski, pihak OCI membantah semua tuduhan itu.

Proses hukum sempat dijalankan. Pada 1997, korban melaporkan kasus ini, namun dua tahun kemudian, Kepolisian mengeluarkan Surat Penghentian Penyelidikan (SP3). Komnas HAM sempat menangani aduan ulang pada 2002 hingga 2004, namun penyelesaian yang ditawarkan kala itu dinilai tidak memadai. Setelah bertahun-tahun nyaris terlupakan, kasus ini kembali mencuat pada 2024, ketika enam korban mengajukan gugatan hukum terhadap Taman Safari Indonesia, menuntut kompensasi senilai Rp3,1 miliar dan melaporkan dugaan pelanggaran HAM ke Komnas HAM.

Respons Pemerintah dan Dorongan Akademik

DPM FH Untag menilai langkah pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (KemenHAM), yang mulai memanggil pihak-pihak terkait untuk klarifikasi sejak April 2025, patut diapresiasi, namun belum cukup. Kajian internal mereka menegaskan bahwa kasus ini berpotensi masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Negara harus menunjukkan keberpihakan nyata terhadap korban, bukan hanya retorika,” ujar Ketua DPM FH Untag Surabaya dalam rilis resmi. Ia menambahkan, penundaan keadilan selama puluhan tahun justru memperparah trauma yang dialami korban.

DPM FH Untag juga merekomendasikan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) independen yang terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, akademisi, dan psikolog, untuk mengusut tuntas peristiwa ini dan menelusuri tanggung jawab hukum maupun moral para pihak yang diduga terlibat.

Landasan Hukum yang Relevan

Dalam kajian yuridisnya, DPM FH Untag mengidentifikasi beberapa peraturan yang relevan dan dapat digunakan untuk menjerat para pelaku, antara lain:

Pasal 351 dan 353 KUHP terkait penganiayaan fisik dan berat

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Prinsip non-retroaktivitas dapat dikesampingkan dalam konteks pelanggaran HAM berat, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional.

Seruan Moral dan Hukum

Lebih jauh, DPM FH Untag menyerukan agar pendekatan penyelesaian tidak hanya berfokus pada jalur mediasi yang berpotensi melemahkan akuntabilitas hukum. Penyelesaian damai harus tetap mengedepankan keadilan bagi korban dan tidak menjadi jalan pintas bagi pelaku untuk menghindari pertanggungjawaban.

Mereka juga mendorong alokasi sumber daya khusus dari negara untuk pendampingan psikologis terhadap para korban serta pemberian kompensasi yang proporsional, mencakup kerugian materiil dan non-materiil.

Kesimpulan dan Rekomendasi

DPM FH Untag menyimpulkan bahwa negara tidak boleh lagi menunda langkah-langkah hukum. Penegakan keadilan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, agar kasus ini tidak sekadar menjadi berita viral, tetapi menjadi momentum perbaikan sistemik dalam perlindungan HAM dan anak di Indonesia.

Rekomendasi mereka meliputi:

1. Pembentukan TPF independen dengan kewenangan penuh untuk investigasi.

2. Pemulihan psikososial korban melalui terapi trauma dan rehabilitasi jangka panjang.

3. Mekanisme kompensasi yang adil dan pertanggungjawaban hukum yang tegas terhadap semua pihak yang terlibat. (Han)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait