Beritalima.com( Banda Aceh – Persoalan disharmonisasi antara eksekutif dan legislatif Aceh selama ini pada dasarnya bukanlah persoalan kepeentingan rakyat Aceh, namun ironisnya ditanggarai oleh urusan alokasi anggaran pokok pikiran DPRA semata.
“Polemik ini bermula dari Surat Gubernur Aceh, Nomor: 050/593, tanggal 19 Januari 2023 dengan perihal; Pokok-pokok Pikiran DPRA Terhadap Rancangan Awal RKPA tahun 2024. Dalam poin ketiga dari surat tersebut,
Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki meminta anggota DPRA untuk mengusulkan Pokir dengan memperhatikan arah kebijakan dan ketentuan Peraturan Mendagri No: 84 Tahun 2022, tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2023. Isinya menyebutkan, pemerintah daerah mengalokasikan belanja insfrastruktur pelayanan publik paling rendah 40 persen dari total APBA diluar belanja bagi hasil dan/atau transfer,” beber koordinator Forum Pemuda Aceh (FPA), Syarbaini kepada media, Sabtu, 9 Desember 2023.
Persoalan itu pula yang menjadi salah satu penyebab DPRA tak mengusulkan lagi Achmad Marzuki untuk Pj Gubernur untuk periode kedua, walaupun harapan DPRA pupus setelah presiden kembali memberikan amanah kepada Achmad Marzuki memimpin Aceh.
“Kemungkinan besar bukan Persoalan Aceh atau rakyat Aceh yang terjadi selama ini itu hanya urusan bagi kue pokir belaka,” ujarnya.
Beni menjelaskan, pada tahun 2023 para wakil rakyat di DPRA laksana tertimpa rezeki nomblok dengan alokasi anggaran Pokir totalnya Rp 1,6 Triliun Rupiah.
“Jadi , dikarenakan sumber anggaran pokir dan JKA notabenenya mayoritas dari sumber dana otsus Aceh. Maka dengan jumlah otsus pada tahun 2023 hanya sebesar Rp. 3,9 Triliun, kemudian dibagi untuk pembangunan di kabupaten/kota sebesar 40%. Lalu disedot lebih satu triliun, sehingga dana yang tersisa untuk JKA sangatlah kecil sekitar Rp.65 M, sehingga hampir saja JKA dihentikan oleh BPJS karena Pemerintah Aceh tidak sanggup membayar ,” jelasnya.
Lanjut Beni, belajar dari pengalaman tahun anggaran 2023, maka sudah seyogyanya Pj Gubernur Aceh untuk menolak alokasi Pokir DPRA yang begitu besar tersebut pada tahun anggaran 2024 jika tidak maka JKA akan kembali terancam.
“Pada tahun anggaran 2024 mendatang alokasi otsus Aceh kembali turun menjadi Rp. 3,3 Triliun Rupiah. Setelah dilakukan pembagian 60:40% dengan kabupaten/kota, maka sisanya hanya sekitar Rp. 1,98 Triliun atau digenapkan Rp.2 Triliun.
Jika harus mengakomodir anggaran Pokir Dewan sampai Rp 1,6 Triliun seperti tahun 2023 maka nasib JKA dipastikan akan berakhir. Tentunya Pj Gubernur tak ingin hal itu terjadi, apalagi disatu sisi utang pembayaran JKA tahun 2023 ini masih tersisa lebih Rp 480 Milyar belum lagi untuk pembayaran JKA tahun 2024,”paparnya.
Namun, kata Beni, DPRA juga sepertinya tak kehilangan cara, salah satu hal yang dilakukan adalah dengan mendorong skema pembagian otsus yang sebelumnya 60% provinsi dan 40% kabupaten/ kota menjadi 80% provinsi dan tinggal 20% untuk pembangunan kabupaten/kota.
“Semua itu bertujuan agar anggaran Pokir tetap tersedia sesuai keinginan DPRA. Tapi, lagi-lagi Pj Gubernur tidak ingin mengorbankan pembangunan kabupaten/kota ketika daerah-daerah sedang mengalami kesulitan fiskal pasca pendemi covid 19 dan ditambah lagi beban bencana seperti banjir dan sebagainya,” tambahnya.
Kata Syarbaini, persoalan yang terjadi selama ini baik itu ditangkap dalam drama disharmonisasi, drama permintaan pergantian Pj Gubernur, atau drama-drama lainnya sebenarnya maraknya nanti kepada urusan alokasi Pokir DPRA.
“Jadi, bukan karena keterbatasan waktu pembahasan APBA, bukan karena ketidakhadiran Pj Gubernur sementara Tim TAPA selalu hadir atau dalih-dalih lainnya. Kalau para wakil rakyat jujur sejujurnya, semua tak lebih dari kepastian alokasi pokir semata yang menjadi penyebab utama,”cetusnya.
Syarbaini juga menegaskan, sebagai rakyat kita mendukung pengesahan APBA tahun 2024 melalui pergub demi menyelamatkan anggaran JKA dan alokasi otsus untuk kabupaten/kota.
“Seharusnya para wakil rakyat di DPRA malu pada rakyat dan daerahnya, mereka sibuk untuk urusan Pokir semata sementara rakyat dan pemkab di berbagai daerah sedang menghadapi bencana banjir yang dahsyat.
Kalaupun ada perubahan skema pembagian otsus, maka jika DPRA itu merakyat mereka akan biarkan anggaran itu dimaksimalkan ke JKA dan ditambah untuk porsi Kabupaten/Kota. Namun, kami yakin DPRA tak akan berani melakukan itu,”ujarnya.
Dia menegaskan, jika pembahasan APBA melalui qanun hanyalah sarana untuk mengalokasikan Pokir DPRA semata maka lebih baik disahkan melalui Pergub saja. “Jangan sampai karena disahkan melalui qanun, pokir diakomodir, anggaran untuk JKA minim atau kemudian dana otsus kabupaten/kota jadi korbannya. Makanya untuk 2024 ini lebih idealnya memang disahkan melalui Pergub demi menyelamatkan kepentingan rakyat dan daerah,” tegasnya.
Terkadang, kata Syarbaini, kita bertanya apakah para wakil rakyat kita tidak malu kepada rakyatnya dengan menerus ribut karena urusan kavling pokir tersebut. Belum lagi, jika kita lihat dari kehidupan para wakil rakyat kita dengan entertain yang tinggi dan hidup serba mewah. Sudah fasilitas begitu banyak diberikan negara tiap bulannya, malah urusan pokir selalu seakan menjadi incarannya.
“Apakah benar ada hak amil atau jatah rekan dari setiap list pokir itu terlalu rendah sehingga selalu menjadi biang keributan. Tak ingatkah para wakil rakyat dengan nasib rakyat yang telah memberinya mandat.
Yang dibahas itu uang rakyat, kemudian setelah dapat jatah pokir mereka datang membawa sedikit pokirnya kepada rakyat dengan lagak bak pahlawan, tak malukah mereka dengan semua itu. Sungguh kondisi yang memilukan,” pungkasnya.”(A79)