Beritalima.com– Walau sudah diajukan sejak 2017, namun DPR RI bersama pemerintah belum membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
“Kami belum membas, karena harus mempertimbangkan banyak hal, seperti butuh banyak masukan dari berbagai unsur mulai dari kalangan masyarakat, akademisi, praktisi hukum dan tokoh agama,” ujar anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.
Penegasan tersebut disampaikan anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu dalam diskusi Forum Legislasi “Progres RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)?” di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (26/2).
Menurut Rahayu, masukkan dari berbagai kalangan itu sangat penting, karena masalah ini sangat substansial dalam kehidupan masyarakat era modern.
“Tidak hanya materi masalah saja yang kami pikirkan, masalah istilah pun kami bahasa secara cermat. Masalah defenisi itu penting, karena bisa dipahami multi tafsir oleh publik,” papar perempuan kelahiran Jakarta, 27 Januari 1986 tersebut.
Dijelaskannya, masalah RUU PKS ini sebetulnya merupakan insiatif DPR, karena ada sejumlah anggota Komisi VIII DPR yang mengusulkan. Usul itu terus bergulir hingga disetujui menjadi RUU Inisiatif DPR 2017.
“Pemerintah pun merespon yang leading sektornya ketika itu Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan beberapa kementerian lainnya,” putri adik kandung Prabowo Subianto tersebut.
Jadi, lanjut wakil rakyat dari Dapil IV Provinsi Jawa Barat itu, inilah yang perlu diclearkan terlebih dahulu bahwa RUU tersebut adalah inisiatif DPR dan belum pernah dibahas.
Yang baru dilakukan baru sampai rapat biasa saja. Dan, itu baru sekali. Dari rapat itu disepakati DPR membutuhkan masukan masalah dari publik, supaya kemudian tidak menjadi masalah di kemudian hari.
“Karena itu, kalau ada pihak-pihak yang menolak RUU PKS tersebut, mungkin karena mereka belum tahu, dan atau mungkin hanya baru membaca draf awalnya,” papar Rahayu.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Imam Nahei yang juga menjadi nara sumber dalam diskusi tersebut mengatakan, RUU PKS itu hanya mengatur masalah kekerasan seksual saja.
Baik dilakukan oleh lelaki maupun perempuan. “RUU ini adalah untuk menjawab kekosongan hukum. Bahwa setiap tubuh seseorang harus mendapat perlindungan hukum,” ungkap dia.
Untuk itu, Imam menolak jika RUU ini akan melegalkan perzinahan, LGBT, dan lainnya yang bertentangan dengan etika, moral dan agama. “Justru, dalam pembahasannya harus melibatkan kalangan akademis, ulama, kiai, habaib, tokoh masyarakat dan lain-lain untuk dapat disetujui,” demikian Imam Nahel. (akhir)