DPR dan Pemerintah Sepakati Tidak Ada PHK Terhadap Tenaga Honorer

  • Whatsapp

Jakarta — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah yang di wakili Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi sepakat tidak akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap tenaga honorer yang jumlahnya mencapai 2,3 juta.

Kesepakatan itu disampaikan anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus
dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “Revisi UU ASN dan Nasib Tenaga Honorer” di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (1/8/2023).

Kesepakatan itu merupakan salah satu dari tiga skema penentuan nasib sekitar 2,3 juta tenaga honorer dari berbagai instansi menjelang keputusan pemerintah yang akan menghapus tenaga honorer pada akhir tahun 2023 ini.

Tiga skema atau model ini, menurut Guspardi, muncul usai Komisi II DPR menyampaikan daftar investarisasi masalah (DIM) revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atau PAN-RB Azwar Anas.

“Pertama adalah (diangkat menjadi) PNS, yang kedua adalah PPPK Pool Time, yang ketiga adalah PPPK Part Time,” kata Guspardi.

Menurut Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) ini, dari 7 klaster yang dibuat saat pembahasan antara Komisi II DPR dengan Kementerian PAN-RB ini, fokus pembahasan menyoal pada nasib 2,3 juta tenaga honorer.

“Mau diapakan 2,3 juta itu? Lalu pemerintah menyatakan komitmennya dan kita dukung komisi II terhadap komitmen yang disampaikan oleh pemerintah,” tegas Guspardi.

Komitmen itu, menurut Guspardi yaitu pertama adalah pemerintah tidak akan melakukan PHK terhadap 2,3 juta tenaga honorer.

“Alhamdulillah tentu sangat direspon oleh seluruh para honorer dan sebutan lain yang ada di kabupaten kota, provinsi, kementerian dan lembaga di seluruh Indonesia,” imbuhnya.

Komitmen kedua adalah jaminan yang disampaikan oleh pemerintah bahwa tidak akan berkurang kesejahteraan yang didapat, bagi tenaga honorer yang tidak menjadi ASN.

“Ketiga adalah pihak pemerintah pun juga mengatakan bahwa dengan sikap yang demikian juga tidak akan menggelembung anggaran dengan solusi yang akan diterapkan di dalam revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014,” urainya.

Dari ketiga skema itu, Guspardi menjelaskan solusi daripada kebijakan yang dibuat itu mengandung subtansi nasib tenaga honorer tetap diakomodir meskipun tidak semuanya menjadi ASN tetapi melalui beragam model atau skema.

“Substansinya adalah semuanya akan menjadi ASN dengan model adalah mengubah, menambah, bentuk polarisasi dari pada ASN itu,” ujar Guspardi.

Anggota Komisi II DPR RI lainnya, Mardani Ali Sera mengakui perlu keberanian dari pemerintah untuk menuntaskan terus bertambahnya rekrutmen tenaga honorer.

Hal itu karena hampir semua instansi terus merekrut tenaga honorer baru. Sejauh ini, pemerintah pusat memutuskan akan mengeluarkan kebijakan menghapus keberadaan honorer di akhir tahun 2023 meksipun keputusan itu dinilai akan menimbulkan problem besar karena menyangkut nasib tenaga honorer.

“Untuk yang honorer, ini perlu keberanian kata kuncinya. Tidak di pemerintah pusat, tapi ada di teman-teman pemda,” tegas Mardani.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini mengakui persoalan terus bertambahnya tenaga honorer sudah terjadi sejak DPR RI periode lalu.

Iapun menganggap wajar sikap Kementerian Keuangan yang mengevaluasi rekrutmen baru tenaga honorer karena menambah beban keuangan negara.

“Ini yang yang akhirnya Kementerian Keuangan, wajar kalau selalu exercise. Ini gimana enggak kelar-kelar? 3,9 ditambah 2,4 (tenaga honorer). Jadinya tidak sesuai dengan reforma birokrasi. Reformasi birokrasi itu miskin struktur tapi kaya fungsi,” sebut Mardani.

Sementara itu, Asisten Deputi Perancangan Jabatan, Perencanaan, dan Pengadaan SDM Aparatur Kementerian PAN-RB, Aba Subagja berharap revisi UU ASN tidak hanya fokus pada masalah penyelesaian tenaga honorer tetapi juga menyangkut berbagai masalah masalah dan persoalan yang ada di lingkup birokrasi secara keseluruhan.

“Penyelesaian tenaga non ASN itu bagian kecil saja kalau menurut saya. Itukan persoalan tuntutan. Di kita ini kadang-kadang seleksi itu kayak orang bagi sembako. Kalau nggak kebagian wajib dapat. Saya ngelamar ke Astra kalau nggak lulus selesai Pak. Tapi di kita ini tuntutannya luar biasa,” kelakar Aba.

Aba mengakui problematika ASN luar biasa, maka pihaknya sesungguhnya ingin menormalisasi sistem pengadaan ASN.

“Kita buka sistem pengadaan, NAB-nya tinggiin, silahkan orang bertempur di situ. Tapi Undang-uUndang ASN sudah menjamin karirnya, menjamin kesejahteraannya dan sebagainya. Mudah-mudahan ini barangkali kalau menurut saya sih penting di dalam revisi Undang-Undang ASN,” tegas Aba. (ar)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait