JAKARTA, beritalima.com – Pasien BPJS dalam kondisi darurat bisa masuk dan ditangani secara serius di rumah sakit manapun termasuk rumah sakit bintang 5 tanpa harus membayar lebih dahulu. Walaupun dalam kondisi darurat, RS tidak boleh tanya tentang pembayarannya. Pasien kondisi darurat harus di tangani RS sampai maksimal baru bicara tentang biaya.
Pasien panduan BPJS tidak wajib membayar sepeserpun walau RS bintang 5 tidak ikut BPJS. Karena setelah melewati masa krisis, pasien dapat dirujuk ke RS yang sudah bergabung dengan BPJS dan Rumah sakit yang telah menangani pasien gawat darurat dapat menagihkan Ke BPJS.
Anggota Komisi IX DPR RI Marinus Gea menegaskan, keputusan DPR RI untuk menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan khusus kelas 3 adalah wujud perlindungan kepada rakyat. Marinus melihat peserta yang menggunakan BPJS kelas 1 dan 2 adalah orang yang tergolong mampu secara ekonomi, sehingga kenaikan iurannya lebih disetujui.
“Sementara yang kelas 3 ini sebagai wujud perlindungan kita kepada rakyat yang memang memiliki kemampuan ekonomi rata-rata. Itu yang kita bela sebagai wakil rakyat. Kita tetap berjuang untuk kepentingan rakyat,” tegas Marinus saat di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Menurut Marinus, kenaikan iuran BPJS kelas 1 dan 2 ke depannya dipergunakan untuk membantu kelas 3, sehingga ia mengajak masyarakat yang mampu secara ekonomi untuk membantu masyarakat yang kurang mampu.
“Ayo kita sama-sama. Mari kita terus membantu rakyat kita yang harus ditolong melalui (BPJS) kelas 3,” ujar politisi PDI Perjuangan Dapil Banten III.
Terkait pembayaran iuran BPJS Kesehatan dengan autodebit rekening, ia menanggapi wacana tersebut sangat baik. Menurutnya masyarakat bisa lebih mudah untuk melakukan pembayaran iuran BPJS. Jika diberlakukan, tidak ada alasan lagi pengguna BPJS tersebut tidak memiliki uang. Ironisnnya selama ini ada perusahaan yang menurunkan informasi gaji pegawainya, sehingga iuran BPJS yang menjadi beban perusahaan menjadi lebih kecil.
“Saya kira itu sangat baik dan tidak merepotkan yang bayar. Sehingga tidak ada alasan tidak punya uang dan tidak cukup gaji. Kita juga mendengar kemarin bahwa banyak perusahaan yang menipu (informasi) gaji dengan menurunkan gajinya, sehingga iuran BPJS yang menjadi beban perusahaan menjadi lebih kecil. Kan tidak fair,” pungkasnya.
Sebelumnya pada saat gabungan antara Komisi IX dan XI DPR bersama pemerintah, Senin (2/9/2019) di ruang rapat Komisi XI DPR, mendesak Pemerintah untuk segera mengambil kebijakan untuk mengatasi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tahun 2019 yang diproyeksikan mencapai Rp 32,84 triliun.
Namun dijelaskan Soepriyatno, Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra menyimpulkan rapat bersama yang mendiskusikan grand design dan peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Tahun 2019-2024, termasuk inovasi pelayanan dalam rangka menjamin keberlangsungan JKN, dimana tindak lanjut hasil audit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan oleh BPKP, pemerintah didesak agar mampu mengatasi defisit DJS Kesehatan tahun 2019 yang diproyeksikan.
Tidak kalah penting, DPR juga mendesak Pemerintah untuk segera memperbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial sebagai basis dari data terpadu penentuan Penerima Bantuan Iuran (PBI) program JKN. Perbaikan ini termasuk penyelesaian data cleansing terhadap sisa data dari hasil Audit dengan Tujuan Tertentu DJS Kesehatan tahun 2018 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebanyak 10.654.530 peserta JKN yang masih bermasalah.
Sementara dr. Suir Syam, M. Kes, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra menekankan bahwa pemerintah harus bayar rumah sakit. ddm