JAKARTA, beritalima.com | TAP MPR VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Polri, secara tegas telah memisahkan peran TNI dan Polri masing-masing dengan UU tersendiri guna memenuhi agenda reformasi. Oleh karena itu pengaturan peran TNI dalam pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, merupakan sebuah anomali dalam pembentukan UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) & Advokat Peradi, Petrus Selestinus, menyatakan begitu saat dimintai tanggapan mengenai Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) Tentang Peran dan Fungsi TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, Minggu (9/8/2020).
Menurutnya, anomali (ketidaknormalan/ keanehan – Red) yang paling serius dan masih berlanjut adalah dimana Pemerintah justru menyiapkan R-Perpres Tentang Peran dan Fungsi TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, yang saat ini sedang dalam proses disahkan menjadi Perpres oleh DPR sebagai turunan dari Pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Padahal terorisme telah menjadi konsensus nasional sebagai suatu Tindak Pidana sebagaimana rumusannya telah diatur di dalam UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, lalu bagaimana jadinya jika TNI ditarik masuk ke dalam aksi Penegakan Hukum yang merupakan domain Polri dengan pijakan Hukum Acaranya adalah KUHAP, tentu tidak boleh dan tidak pada tempatnya TNI ditarik ke dalam ranah penegakan hukum Polri,” ujar dia.
“Oleh karena itu, peran dan fungsi TNI dalam menanggulangi Aksi Terorisme yang mengancam kedaulatan negara dan merongrong kehormatan negara pada bagian hulunya perlu diatur dengan UU tersendiri, bukan dengan Perpres, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang berupa tindakan yang melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang dan bertindak sewenang-wenang, yang menunjukan supremasi TNI dalam tugas-tugas sipil,” terangnya.
Menurut Petrus pula, Perpres tidak cukup memberikan dasar legitimasi yang kuat, karena peran strategis TNI dalam menindak Aksi Terorisme pada bagian hulu memerlukan dukungan publik yang luas di samping harus memenuhi aspek sosiologis, yuridis dan filosofis dalam suatu UU tersendiri. Ia tidak boleh dicampuradukan dengan peran strategis Polri dalam tugas proyustisia, yaitu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Meskipun Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun ketentuan ini tidak cukup kuat untuk memberi dasar legitimasi bagi pelaksanaan tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme pada bagian hulu, yaitu mengancam eksistensi negara, ideologi negara, kedaulatan NKRI dan kehormatan negara.
TNI sebagai alat pertahanan negara mengemban 3 fungsi, fungsi Penangkalan, fungsi Penindakan, dan fungsi Pemulihan, yang dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Peran Mengatasi Aksi Terorisme sebagai Operasi Militer selain perang tidak bisa lain selain harus diatur dengan UU, karena cakupan tugasnya sangat berat dan luas menyangkut keselamatan NKRI.
“Karena itu, sangat disayangkan jika peran strategis itu hanya diatur sebagai kebijakan dan keputusan politik negara yang bersifat temporer dan kasuistis melalui sebuah Perpres untuk memikul beban tugas menegakan Kedaulatan Negara dalam rangka mempertahankan Keutuhan Wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” tegas Petrus.
Dia mendaskan, sangat disayangkan kebijakan Politik Pemerintah yang ingin mengefektifkan fungsi TNI dalam bidang Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan Aksi Terorisme pada bagian hulu, tetapi payung hukumnya hanya dengan tambal sulam melalui sebuah Perpres, sebagai kebijakan dan keputusan politik negara guna memenuhi ketentuan pasal 43i Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Presiden Jokowi seharusnya secara kesatria menarik kembali R-Perpres Tentang Peran dan Fungsi TNI sebagai kebijakan Politik Negara, dan segera menggantinya dengan usul RUU Tentang Peran TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Dengan demikian, maka posisi TNI dalam melaksanakan peran dan fungsi Mengatasi Aksi Terorisme tidak tumpang tindih dan tidak mengganggu kohesivitas kerja Polri, karena keduanya terpisah secara organisatoris, operasional dan profesional sesuai dengan ruang lingkup tugas masing-masing,” urai Advokat Peradi ini.
“Hal ihwal tentang tindakan hukum berupa Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan Aksi Terorisme pada tataran tertentu mengancam kedaulatan dan kehormatan negara dan bangsa, menjadi tugas mulia TNI sebagai sebuah Organ Negara. Namun demikian perlu diperinci batasan-batasan operasionalnya, syarat-syarat formil dan materil serta pelaksanaannya dengan UU tersendiri atau merevisi UU No.34 Tahun 2004 Tentang TNI, karena belum diatur secara komprehensif,” pungkasnya. (Ganefo)