Jakarta, beritalima.com| – DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna (18/11). Pengesahan dilakukan setelah Ketua DPR RI Puan Maharani meminta persetujuan seluruh fraksi.
“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP apakah dapat disetujui menjadi UU?” tanya Puan. Seluruh peserta rapat paripurna pun kompak menyatakan “Setuju” terhadap pengesahan RUU KUHAP tersebut.
Saat proses pengesahan tersebut, kritik publik terhadap revisi KUHAP terus bergulir, terutama soal transparansi dan potensi perluasan kewenangan aparat penegak hukum.
Puan menekankan, laporan Komisi III sudah “jelas dan dapat dipahami” sehingga tidak ada alasan bagi publik terpengaruh informasi yang disebutnya sebagai hoaks.
“Hoaks-hoaks yang beredar itu tidak betul. Semoga kesalahpahaman publik bisa terjawab lewat penjelasan resmi,” kata Puan.
Namun demikian, sejumlah kalangan menilai DPR masih memiliki pekerjaan besar memastikan aturan baru ini benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar memperluas kewenangan negara dalam proses pidana.
Selama pembahasan, Panitia Kerja RUU KUHAP menyepakati 14 substansi utama yang disebut sebagai bentuk modernisasi hukum acara pidana. Berikut poin-poin yang disahkan:
1. Penyesuaian hukum acara dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.
2. Penyesuaian nilai hukum acara sesuai KUHP baru yang menekankan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif.
3. Penegasan diferensiasi fungsi penyidik, penuntut, hakim, advokat, dan pemimpin masyarakat.
4. Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut serta penguatan koordinasi.
5. Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi.
6. Penguatan peran advokat dalam sistem peradilan pidana.
7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif.
8. Perlindungan bagi kelompok rentan: disabilitas, perempuan, anak, lansia.
9. Penguatan perlindungan disabilitas di seluruh tahap proses pemeriksaan.
10. Perbaikan aturan upaya paksa dengan prinsip due process of law.
11. Pengenalan mekanisme baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi.
12. Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi.
13. Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban.
14. Modernisasi hukum acara untuk peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.
Beberapa elemen masyarakat sipil sebelumnya menyoroti risiko terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam praktik, terutama terkait mekanisme upaya paksa dan pengakuan bersalah (plea bargain) yang dinilai rawan diselewengkan.
Pengesahan RKUHAP ini menandai babak penting dalam pembaruan hukum pidana Indonesia. Namun, DPR masih harus menjawab keraguan publik yang menilai pembahasan dilakukan terlalu cepat dan minim melibatkan masyarakat.
Jurnalis: rendy/abri








