JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr Filep Wamafma
geram dengan ulah sejumlah anggota DPR RI yang mempertanyakan soal
kewenangan DPD RI
dengan masuknya RUU BUMDes dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) atas inisiatif DPD RI.
“DPR RI tidak seharusnya sibuk mempertanyakan ranah kewenangan
usulan RUU BUMDes.
Sejatinya, kewenangan legislasi DPD RI tidak boleh
diragukan. Baca lagi Pasal 22D ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945 serta Putusan
MK yang mengafirmasi kembali posisi DPD RI,” tegas senator muda dari
Dapil Provinsi Papua Barat ini, Jumat (20/8).
Menurut alumni magister Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas)
Makasar ini, konstruksi Pasal 22D yang terdapat pada Konstitusi tersebut
menggarisbawahi sejauh mana peran DPD RI dalam mengajukan usulan
RUU, membahas dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU.
Namun, selama ini menurut Filep, dalam proses perumusan UU, DPD RI
seringkali hanyalah dijadikan pelengkap, sebagaimana dalam Pasal 22 D
disebutkan kata ‘ikut’, yang sekadar bermakna ‘partisipasi’, suatu
constitutional participant yang perannya sangat terbatas.
Jika ditilik Putusan MK No: 92/PUU-X/2012, MK tegas mengafirmasi
kembali posisi DPD RI yaitu: (1) terlibat dalam pembuatan Program
Legislasi guna mewakili kepentingan daerah, (2) berhak mengajukan RUU
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, (3)
membahas RUU secara penuh, sekadar partisipan, sehingga DPR RI dan
Pemerintah tidak boleh membatasi ruang DPD RI terkait hal ini.
Terkait pengajuan RUU, MK memutuskan bahwa kedudukan DPD RI sama
dengan DPR RI dan Presiden. DPD RI juga dapat mengajukan RUU di luar
Prolegnas, dan usul RUU dari DPD tidak menjadi usul RUU DPR, sehingga
pembahasan RUU dilakukan secara tripartit antara Presiden, DPD RI dan
DPR RI atau bukan diwakili/berhadapan dengan fraksi-fraksi di DPR RI.
Atas dasar pertimbangan itu, Filep menekankan kisruh soal kewenangan
DPD RI harus ditanggapi secara tegas.
Pernyataan anggota DPR RI itu
keliru dan merendahkan institusi DPD RI. Kita minta yang bersangkutan
menyampaikan permohonan maaf dan layak ditegur Ketua Fraksi yang
bersangkutan,” kata Filep.
Seharusnya, jelas senator kelahiran 14 Juni 1978 itu, kita berlapang dada
untuk bersama-sama melakukan tugas-tugas konstitusional, bebas dari
segala kepentingan lainnya.
Dengan demikian, dalam konteks RUU
BUMDes, pembahasan RUU ini harus diberlakukan sama sebagaimana
bila RUU berasal dari inisiatif Presiden ata DPR RI.
“Dalam pembahasan RUU yang diusulkan DPD RI, MK berpendapat, DPD
diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan
Presiden memberikan pandangan. Sesungguhnya tidak ada alasan untuk
menolak atau merasa ragu dengan RUU yang diusulkan DPD RI,” tambah
Filep.
Dia menyebut, DPD RI memiliki kewenangan penuh dan tak terbagi terkait
pengusulan RUU BUMDes. DPD punya hak untuk memberikan penjelasan
terkait RUU ini, yang kemudian akan ditanggapi secara tripartit.
“Sekarang tentu yang menentukan ialah pertarungan politik tripartit ini.
Bagaimana juga, selalu ada kepentingan dalam pertentangan
pembahasan RUU menjadi UU,” kata Filep.
Tidak hanya Filep, Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin juga ikut merespon
pernyataan sejumlah anggota DPR RI terkait dengan inisiasi DPD RI atas
RUU BUMDes.
Menurut Mahyudin, RUU BUMDes inisiasi dan disusun DPD RI karena
memang ada Dasar Hukumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitus (MK)
No: 92/2012 dan No: 79/2014. Dari kedua putusan itu, secara eksplisit
disebutkan: (1) kewenangan DPD RI dalam mengajukan RUU diposisikan
sama dengan DPR RI dan Pemerintah; (2) kewenangan DPD RI ikut
membahas RUU meliputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU
sampai dengan pembahasan tingkat II/ sebelum tahap persetujuan serta
(3) DPD RI memiliki wewenang ikut menyusun Prolegnas pembahasan
RUU dilakukan tiga lembaga (DPR, DPD, dan Presiden) secara tripartit.
“Point-point dari kedua putusan MK di atas telah menjelaskan secara
gamblang, empowerment diberikan pada DPD RI bukan dimaksudkan
untuk melampaui kewenangan legislasi, anggaran, dan pengawasan yang
dilakukan DPR RI, namun kewenangan itu diberikan secara proporsional
sesuai amanat konstitusi, khususnya merujuk pasal 22D ayat (1) dan ayat
(2) dalam hubungannya dengan Pasal 20 dan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945,
dimana MK telah menyatakan konstitusional kewenangan DPD RI dalam:
a. Mengajukan RUU; b. Ikut membahas RUU; c. Persetujuan RUU; d.
Penyusunan Prolegnas dan, e. Pertimbangan terhadap RUU.”
Hal penting itu, lanjut dia, perlu dikemukakan dalam rangka menanggapi
pernyataan salah satu Anggota Komisi V DPR RI, Sudjadi yang mengaku
heran tentang pentingnya kehadiran RUU BUMDes.
Alasan anggota DPR RU, kata Mahyudin, setiap wilayah telah memiliki
struktur masing-masing baik mengenai pemerintahan maupun badan
usahanya. “Bahkan dalam statement tersebut Sudjadi sempat
mengeluarkan kata-kata yang menggelitik dan terkesan melecehkan,
yaitu kata ‘dagelan’,” ujar Mahyudin.
Mantan anggota Komisi VII DPR RI itu mengingatkan, DPD RI selama ini
telah bekerja keras serta berupaya sekuat tenaga untuk memperjuangkan
kepentingan masyarakat dan daerah khususnya di desa-desa dengan
inisiasi RUU BUMDes ini.
“Sangatlah tidak pantas jika upaya sekeras itu ditanggapi dengan kata
‘dagelan’. Lagi pula tidak jelas, kata itu ditujukan kepada siapa? Apakah
terhadap Lembaga DPD RI? Atau terhadap kementerian terkait yang ia
sebutkan yaitu Kemendagri, Kemendes atau KemenPUPR?.”
Terlepas dari pihak manapun yang dimaksud DPR RI, pernyataan itu
bukan hanya merendahkan Lembaga DPD RI yang secara konstitusional
berdiri sejajar kedudukannya dengan DPR RI, tapi juga akan mencederai
perasaan masyarakat dan Daerah yang kami wakili.
Wakil Ketua MPR RI 2014-2019 itu mengatakan, reaksi bernada negatif
dari anggota DPR seperti itu muncul karena kurangnya pemahaman yang
bersangkutan terhadap aturan kelembagaan dan mekanisme
perundangan yang diatur konstitusi, sekaligus juga karena tidak
mengetahui semangat lembaga DPD RI yang mengusung amanat dari
daerah (khususnya desa), yang bertujuan agar terjadi pengurangan/
penghilangan disparitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi
antara pusat dan daerah, terutama di Desa.
Perlu diketahui bahwa RUU BUMDes bukanlah RUU pertama yang
diinisiasi DPD RI. Sejak 2010, kata Mahyudin, DPD RI telah menginiasi
lahirnya RUU Kelautan yang akhirnya masuk Prolegnas dan diundangkan
pada 2014, mekanismenya juga sama, tidak diajukan melalui sinkronisasi
di Baleg DPR, melainkan langsung ke Pimpinan DPR untuk dimasukkan
dalam Prolegnas.
“Kenapa RUU BUMDes ini sangat penting bagi daerah? Karena BUMDes
dapat menjadi sarana dan solusi untuk menciptakan sentra-sentra
ekonomi baru di pedesaan, dengan memanfaatkan SDM lokal, dan dapat
saling bersinergi dengan dunia usaha di pedesaan salahsatunya dengan
memanfaatkan keberadaan Dana Desa, namun dengan pengelolaan serta
sistem pelaporan yang profesional dan akuntabel,” jelas Mahyudin.
Dengan begitu, kata dia, akan terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi
secara masif dengan fundamental yang kuat sejak dari level terbawah
dan impact-nya akan sangat besar bagi ekonomi negeri ini, karena
pertumbuhan itu bersifat riil, masif dan merata di tiap daerah. “Tidak lagi
hanya tergantung pada APBD kabupaten atau kota,” kata Mahyudin.
Pertanyaan mengenai kewenangan DPD RI mencuat, salah satunya
datang dari Wakil Ketua Komisi V DPR, Muhammad Arwani Thomafi.
Arwani menyebut usulan itu hanya sekedar pendapat dari DPD RI, namun segala keputusan tetap berada ditangan anggota DPR RI.
“Jadi tidak melalui Baleg lagi. Oleh Presiden lalu terbit Surpres ke Pimpinan DPR RI kemudian Rapat Badan Musyawarah (Bamus) menugaskan Komisi V. Jadi ini baru ada RUU dari DPD RI di periode kali ini dan selama kerja-kerja legislasi,” kata Arwani dilansir dari rm.id dengan judul “DPD Silahkan Berpendapat, Keputusan Tetap di DPR” pada tertanggal 20 Agustus 2021.
Tak hanya dari Arwani, Kepala Badan Keahlian DPR Inosentios Syamsul
juga memberikan tanggapan. Menurut Inosentios, berdasarkan pasal 20
ayat 2 UUD 1945, setiap RUU dibahas DPR RI bersama Presiden. Bukan dengan DPD. Karena itu, menurut dia, seluruh jalannya persidangan harus dikendalikan DPR RI.
(akhir)