SURABAYA, beritalima.com | Ketua DPRD Jawa Timur meragukan isu telur yang mengandung dioxin di Jatim, oleh karena itu pihaknya mengajak masyarakat tak perlu gaduh menghadapi isu telur asal Tropodo, Waru, Sidoarjo yang mengandung zat berbahaya seperti dioxin. Masyarakat diharap harus berpikir obyektif dengan menggunakan logika terukur.
Ketua DPRD Jatim, Kusnadi menegaskan bahwa isu lingkungan memang harus menjadi perhatian. Terutama, terkait dengan sampah plastik. “Bahkan, DPP PDI Perjuangan sudah menerbitkan instruksi khusus untuk itu,” kata kusnadi ditemui di ruang ketua DPRD Jatim, Selasa (19/11).
Namun, terkait dengan isu yang mengandung tentang dioxin, pihaknya berharap masyarakat melakukan telaah yang mendalam. “Tentang dioxin pada telur ayam, itu relevan kah?,”ucapnya.
Pertama, pihaknya mempertanyakan jumlah sampling yang digunakan para peneliti oleh LSM hingga menemukan simpulan tersebut. “Dari sekian ratus atau katakanlah yang puluh ribu butir telur yang dihasilkan dari wilayah itu, berapa yang telah terpapar dioxin?,” sindir Kusnadi.
“Sehingga, secara ilmiah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa telur-telur yang sudah terkontaminasi dioxin akibat pembakaran plastik yang diimpor dari negara lain,” kata Kusnadi politisi asal Fraksi PDI Perjuangan ini.
Ia menjelaskan, bahwa ayam petelor bukanlah ayam yang hidupnya bebas diluar kandang. Ayam petelor cenderung besar di dalam kandang, dan mengonsumsi makanan yang disiapkan peternak, bukan mencari sendiri di alam.
Sehingga, konsumsi ayam petelur berasal olahan pabrik produsen makanan ayam bukan dari limbah, apalagi yang mengandung dioxin. “Jadi, ayam petelur itu bukan predator alam yang memakan apa saja. Sebab, kalau sampai terjadi, pasti mengganggu produksi telurnya yang mengakibatkan peternak rugi,” beber Kusnadi.
Sementara itu, kacang kedelai sebagai bahan baku utama pembuatan tahu dan tempe (alternatif pengganti telur) saat ini adalah kacang kedelai (apapun mereknya) yang diimpor dari Amerika. “Apakah Amerika akan merelakan impornya terganggu?,” sindirnya.
Disamping itu, dalam praktek pembuatan tahu, sampah plastik hanya dipakai sebagai pemantik api. “Sampah plastik dalam istilah Jawa sebagai nyutek geni pada ketel uap. Setelah api menyala maka bahan bakarnya diganti dengan kayu atau batu bara (tergantung kontruksi ketelnya),” jelasnya.
Sampah plastik tidak menjadi bahan baku utama pembakaran pada katel karena memiliki beberapa kelemahan. Plastik akan membuat jelaga dari pembakaran itu sangat pekat dan setiap hari akan merusak pakaian yang dijemur warga disekitar pabrik.
Rumah warga menjadi penuh jelaga, bahkan warga yang tinggal disekitar pabrik juga bisa ikut terdampak. “Wajah dan seluruh tubuh akan hitam dipenuhi jelaga yang sulit untuk dibersihkan. Kalau itu terjadi, pabrik bisa dibakar warga,” kata Anggota DPRD Jatim dari dapil Jatim 2 (Sidoarjo ini).
Selain itu, penggunaan plastik sebagai bahan baku utama pembakaran akan membuat pipa pipa ketel sering bocor. Sebab, sisa bakaran plastik akan menempel pada pipa. “Apabila dibersihkan, pipanya akan ikut terkikis dan bolong. Akibanya , uap untuk memasak kedelai tidak normal, kedelai tidak matang, maka tahu tidak diproduksi. Rugilah pengusaha,” tegas Kusnadi.
Menurutnya, berbagai logika tersebut secara tak langsung mematahkan argumen isu yang beredar. “Jadi, perlu juga direnungkan apa maksud berita itu. Jangan karena berita dari media luar neger, kita menghilangkan logika dasar kita dalam mencermatinya,”pungkasnya.
Senada Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjutak pihaknya berharap isu telur mengandung zat beracun harus dicermati secara seksama. Terlebih persaingan dagang global kerap menggunakan cara-cara serupa untuk mendiskreditkan produk negara tertentu.
Oleh karena itu, isu ini dikawatirkan akan mengganggu para produsen telur di Jawa Timur maupun nasional. “Kami sepakat dengan Ibu Gubernur, Khofifah Indar Parawansa. Masyarakat tidak perlu kawatir. Telur asal Jatim aman dan tidak mengandung racun,” tegas Sahat.
Ia juga mengimbau berkaca pada pengalaman kasus tembakau dan rokok. Awalnya juga mirip dimana rokok diasumsikan mengganggu kesehatan sehingga petani tembakau banyak yang gulung tikar dan produsen rokok diambilalih asing.
“Setelah hulu dan hilir dikuasai asing, kita disuruh menjadi konsumen padahal dulunya mulai tembakau dan pabrik rokok adalah milik bangsa Indonesia tapi sekarang semuanya jadi milik asing dan tembakaunya juga harus mengimpor,” ungkap politisi asal Partai Golkar. (pca)