SURABAYA, Beritalima.com-
Hearing dalam mendengarkan pendapat terkait laporan Juru Kunci Taman bungkul, Komisi D DPRD Kota Surabaya mengadakan rapat dengar pendapat dengan Ketua Yayasan Oesman Taman Bungkul dan Juru Kunci Taman Bungkul Surabaya untuk membahas pengembalian status cagar budaya di makam wali yang berada di Taman Bungkul, pada Rabu (4/12/2024).
Ketua Komisi D, dr. Akmarawita Kadir., M.kes, menyatakan bahwa Taman Bungkul telah mengalami perubahan fungsi dan bentuk, sehingga perlu adanya pengawasan dari OPD.
Ia menegaskan bahwa, intinya mengembalikan Marwah daripada cagar budaya yang ada di makam bungkul ini karena memang merupakan cagar budaya.
Akmarawita menekankan bahwa keberadaan cagar budaya di Taman Bungkul harus dilindungi dan tidak boleh diubah secara sembarangan.
“Cagar budaya yang berubah fungsi nantinya dikembalikan seperti semula, terutama denah disesuaikan seperti awalnya karena ada undang undang yang mengatur,” jelas Akmarawita.
Komisi D juga menyoroti adanya iuran dari Sentra Wisata Kuliner (SWK) di Taman Bungkul yang tidak masuk ke PAD Kota Surabaya.
“Sudah kita tanyakan ke Dinas kooperasi selaku yang punya wenang untuk mengelola itu, Ternyata Dinas Koperasi tidak mengetahui adanya restribusi atau iuran,” ucap Akmarawita.
Ahli waris kunci makam Mbah Bungkul menyampaikan keluhan tentang pengelolaan makam yang tidak steril dan adanya ketidaksesuaian silsilah keturunan Mbah Bungkul hingga kakeknya, Usman.
“Silsilah keturunan Mbah Bungkul tidak terdapat nama Mbah Usman hingga ahli waris saat ini yang masih ada, bahkan ada nama yang jelas bukan keturunan Mbah Bungkul dituliskan,” ujar Iwan.
Yayasan Keluarga Oesman Bungkul meminta agar peta kondisi makam dikembalikan seperti pada tahun 1940, dimana komplek makam hanya memiliki 2 rumah untuk juru kunci dan marbot.
Saat ini, terdapat 13 rumah yang tidak diakui memiliki Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) oleh Bapenda, dimana hanya 4 rumah yang terdaftar memiliki PBB, di dalam komplek makam.
Keluhan juga terkait dengan kondisi toilet yang digembok dan hanya digunakan untuk warga, padahal seharusnya untuk kebutuhan peziarah.
Mengenai area depan makam yang dijadikan SWK sejak tahun 2006, ahli waris berharap agar pengelolaannya kembali diambil alih Pemerintah Kota, bukan oleh perorangan.
Dalam peraturan retribusi berdasarkan Peraturan Walikota dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 13 Tahun 2010 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2013.
Saat ini, kondisi makam yang terkesan kumuh banyak barang- barang yang tertumpuk dan tidak tertata, sampai ada jemuran pakaian di area makam mbah bungkul.
Sampai saat ini Taman Bungkul Bungkul telah menjadi aset pemerintah Kota Surabaya Surabaya sejak 2016 silam. Di dalam area seluas satu hektar lebih tersebut, sebuah makam Mbah Bungkul dan sebuah rumah yang dulunya ditempati oleh seorang “Kuncen” atau Juru Kunci bernama Oesman.
Sayangnya, pengelola makam bukan ahli waris. Sedangkan (Setral Wisata Kuliner) SWK Taman Bungkul terdapat 51 berbagai stand yang dimana penerangan lampu terdapat di pusat milik Soebakri Siswanto yang juga sebagai pengelolah Sentral Wisata Kuliner (SWK) Taman Bungkul.
Komisi D menekankan pentingnya pengawasan dan pengaturan yang lebih baik untuk melindungi situs budaya dan memastikan pendapatan masuk ke PAD Kota Surabaya.(Yul)