JAKARTA, Beritalima.com– Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Chusnul Mari’yah meminta aktivis partai politik (parpol) tidak menggunakan cerita ‘Doraemon’ sebagai cara memahami berbagai persoalan bangsa dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab, ungkap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat tersebut, memahami dan menyelesaikan masalah bangsa tidak bisa dengan ‘kantong ajaib’ saja, tetapi aktivis partai harus benar-benar berkualiatas dan cerdas sehingga mampu memahami saat berbicara mengenai narasi kebangsaan.
Doraemon, cerita fiksi dan animasi dari Jepang, populer dikalangan anak-anak di Indonesia, dikenal punya ‘kantong ajaib’ yang bisa menyelesaikan masalah.
Doraemon yang digambarkan seekor kucing itu mengeluarkan alat yang diminta Nobita Nobi guna menyelesaikan masalah yang dia hadapi.
“Anda pasti bukan pembaca yang baik, seorang aktivis partai yang dibaca jangan Doraemon. Kalau anda tidak bisa membaca (narasi, red), anda bukan pemimpin yang baik, you are not a leader,” kata Chusnul dalam ‘Orientasi Kemimpinan API Gelora dengan tema ‘Perempuan di Tengah Digitalisasi Demokrasi’ yang diselenggarakan partai Gelora Indonesia, Sabtu (15/8).
Menurut Doktor Ilmu Politik Lulusan University of Sydney, Australia 1998 itu, aktivis perempuan di partai harus memliki kemampuan ‘komunikasi membaca’ persoalan yang dihadapi bangsa dan rakyatnya, bukan sekedar sebagai pelengkap atau pemanis kuota perempuan saja dalam politik.
“Ngerti persoalan rakyatmu aja nggak, apalagi persoalan perempuan, juga nggak. Bagaimana anda membangun narasi soal persoalan bangsa?, sementara tidak mempunyai kemampuan komunikasi membaca. Makanya ketika ditanya wartawan, jawabannya a,i,u,e,o, nganu,” ujar Chusnul.
Dikatakan, perempuan Indonesia harus sadar, meningkatkan kemampuan dia dalam berpolitik. Kesalahan ini tidak mutlak dari perempuan, melainkan dari proses rekruitmen di partai.
“Biasanya kalau perempuan cerdas dikatakan galak, sehingga tidak rekrut. Yang direkrut yang feminim tunduk kepada kemauan pimpinan partai dan bandar, sehingga yang diambil, istrinya, saudaranya, pacarnya dan orang-orang terdekat,” ungkap dia.
Akibatnya, lanjut Chusnul, banyak perempuan berpendapat, politik itu kotor dan memilih tidak terlibat dalam aktivitas politik, meski kuota perempuan di parlemen sudah mencapai 21 persen saat ini.
“Perempuan tetap mengaggap politik kotor, tetapi tidak mau ikut untuk membersihkan. Inilah problem kita saat ini. Nah, partai Gelora Indonesia sebagai pendatang baru dalam kancah perpolitikan nasional jangan seperti partai-partai yang sudah ada,” tegas dia.
Chusnul berharap, perempuan yang menjadi aktivis partai dan aktif dalam dunia politik, berani ‘bertarung’ atau fight, tidak sekedar menjadi follower, tetapi harus berperan aktif dengan didukung kemampuan komunikasi membaca narasi persoalan bangsa.
“Jadi, perempuan itu harus percaya diri. Perempuan masih dipandang sebelah mata, karena itu jangan heran kalau partai politik banyak artisnya. Saya tanya kok seneng banget, rupanya kalau rapat ada artis, bapak-bapak senang. Mereka direkrut karena followernya banyak. Kalau dilihat masih kalah dengan followernya Puan Maharani,” demikian Dr Chusnul Ma’riyah. (akhir)