JAKARTA, Beritalima.com– Demi kemaslahatan umat, masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kuatnya persatuan kesatuan bangsa, menghormati kedudukan dan rumusan Pancasila saat ini yang dirumuskan secara baik dan cermat para Founding Fathers Indonesia, sangat patut pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP) tidak dilanjutkan dan dihapus dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI.
Hal itu dikatakan Ketua Satuan Tugas Perdapan Bangsa (PSB). Dr Hj Aan Rohana dalam keterangan pers yang diterima awak media terkait semakin banyaknya penolakan RUU inisiatif DPR RI itu dikalangan masyarakat tidak hanya umat Islam tetapi juga sejumlah ormas lainnya termasuk purnawirawan ABRI seperti mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.
Dikatakan Aan, SPB adalah komunitas dari berbagai ormas yang berjuang dalam melindungi ketahanan keluarga dan peradaban bangsa Indonesia. SBP berdiri di Jakarta, 27 Juni 2019 dan diinisiasi Neng Djubaedah, Aan Rohana, Marfuah Musthofa, Hanifah Husein dan Mohammad Zen.
Ormas yang hadir saat pembentukannya antara lain PP Muslimat Mathlaul Anwar, Wanita PUI, PP Muslimah Alwashliyah, Wanita Al Irsyad, BKMT, Dewan Presidium BMOIWI, Persistri, Perak, Forhati, PII, FKMT DKI Jakarta, PP Salimah, AILA Indonesia, ALPPIND, PAHAM, Mathlaul Anwar, IKADI, PP Wanita Islam, PW Wanita Islam DKI dan SALAM.
SPB hadir mengkritisi produk hukum dan kebijakan yang mengancam Ketahanan Keluarga dan Peradaban Bangsa Indonesia. SPB pernah mengkritisi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual 2019.
Terkait terbitnya RUU HIP, SBP menilai, nyata telah dan menimbulkan kontroversi yang sangat besar di tengah masyarakat, juga punyai masalah fundamental di dalamnya, bukan saja bersifat politis, tapi juga ekonstruktif dan men- downgrade kedudukan Pancasila sebagai landasan idiel Bangsa Indonesia.
Dikatakan Aan, persoalan utama RUU HIP bukan saja terletak di dalam pasal-pasalnya, tetapi dengan menjadikan Ideologi Pancasila sebagai judul UU merupakan pintu gerbang perdebatan ideologis yang kontraproduktif di tengah masyarakat.
Menghadapi tantangan ideologis dan disintegrasi bangsa di era keterbukaan informasi, harus disikapi dengan keteladanan para pejabat dan pemimpin negara, melaksanakan aturan-aturan hukum yang berlaku, menegakkan hukum dengan adil, membersihkan tindak pidana korupsi sampai ke akar-akarnya. Bukan dengan cara menafsirkan ulang secara luas atau secara sempit ideologi Pancasila dengan UU.
Karena, UUD 1945 adalah satu-satunya tafsir terhadap Pancasila. Dan, Mahkamah Konstitusi (MK) lah yang berwenang menguji UU di bawah UUD 1945 selaku The Guardian of Constitution. Karena itu, bukan suatu sikap negarawan (statesmanship) apabila para legislator di DPR membawa kedudukan Pancasila ke dalam UU yang dapat diuji setiap saat menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang resisten terhadap tantangan zaman.
“Eksistensi Pancasila sampai saat ini masih sangat kuat menghadapi berbagai tantangan ideologis, mulai dari melarang ajaran komunisme, marxisme-leninisme, sekulerisme, separatisme, terorisme dan ekstremisme. Tidak ada sedikitpun alasan filosofis, yuridis dan sosiologis yang membenarkan ideologi Pancasila ditafsirkan ke dalam UU yang secara hirarki perundang-undangan lebih rendah dari UUD 1945,” demikian Dr Hj Aan Rohana. (akhir)