SURABAYA – beritalima.com, Advokat Dr. Johan Widjaja SH,.MH berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan para penguji pada sidang terbuka doktoralnya di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya. Pada Jumat 3 Januari 2025 lalu dengan desertasi berjudul Rekonstruksi Pengaturan Pembayaran Ganti Rugi Kepada Korban Penipuan Berbasis Keadilan.
“Disertasi itu kemudian diuji oleh delapan orang dewan penguji dan mendapatkan predikat sangat memuaskan,” katanya saat bertemu di sebuah tempat makan di Surabaya. Jum’at (17/1/2025).
Gelar itu merupakan gelar ke tiga bagi saya. Sebelumnya saya juga di uji non hukum dari Doktor Ministry, disana saya kuliah di Jogya, kerjasama dengan Biola University America. Itu ijazah saya international tahun 2006. Doktor yang kedua dari Universitas Kristen Borneo Kalimantan. Itu Doktor Theologi, kemudian yang ketiga Doktor ilmu hukum dari Untag Surabaya,” imbuhnya.
Menurut Doktor Johan niat dan tujuannya mengangkat desertasi tentang Rekonstruksi Pengaturan Pembayaran Ganti Rugi tersebut karena pihak korban dari tindak dari tindak pidana penipuan atau penggelapan merasa tidak adil dan harus menempuh gugatan perdata terlebih dahulu jika menuntut kerugian materiil yang dialami. Sebab kata Doktor Johan, tidak ada satupun hakim pun di Indonesia yang memutus, dengan berani memasukan ganti rugi di dalam amar putusannya.
“Hal itu berbeda dengan perkara korupsi, yang berani memasukkan ganti rugi dalam amar putusannya,” lanjutnya.
Padahal ungkap Doktor Johan, untuk ganti rugi didalam Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2023 tercantum. Tetapi untuk memasukan supaya wajib di dalam amar putusannya tidak ada.
“Ada aturannya, tapi tidak diwajibkan bagi hakim untuk memasukan. Paling – paling cuma dapat. Nah kata dapat itu bisa ditafsirkan bukan wajib. Saya sudah survey beberapa hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, hakim dari Sidoarjo dan hakim dari Malang, sama. Karena tidak diatur dengan tegas. Contoh, klien saya sendiri. Sudah menang di kasus pidananya, terus untuk mengembalikan kerugian materiilnya, harus di tempuh perdata,” ungkapnya.
Doktor Johan berharap apa yang sudah dia tuangkan dalam desertasinya tersebut dapat memberi maanfaat.
“Dengan rekonstruksi itu dibenahi lagi. Semoga apa yang saya angkat ini dapat didengar oleh DPR Pusat,” harapnya.
Kalau di Undang-Undang Korupsi memang ada tentang ganti rugi, dan itu tegas diatur, karena ada kerugian negara. Lantas bagaimana dengan kerugian yang sifatnya non negara atau orang sipil. Kenapa di bedah kan. Disinilah letak tidak adilnya pemerintah dan memberikan perlakuan yang berbeda.
“Kalau menyangkut kerugian negara diadakan undang-undang khusus. Terus bagaimana dengan yang non negara atau sipil. Makanya sesuai dengan judul desertasi saya di rekonstruksi pengaturan ganti rugi kepada korban. Pasalnya saja dimasukan di amarnya kata-kata jika ada kerugian materiil dimasukan. Tergantung DPR sama Pemerintah,” imbuh Doktor Johan.
Terkait dengan Rekonstruksi Pengaturan Pembayaran Ganti Rugi Kepada Korban Penipuan Berbasis Keadilan, Doktor Johan berpendapat ada pola yang bisa ditawarkan, yakni family model seperti yang sudah dilaksanakan di negera Belanda.
“Model seperti di Belanda itu mudah-mudahan bisa diterapkan di Indonesia walaupun ada beberapa kendala kultural dan sosio ekonomi yang majemuk, tetapi harus dicoba supaya ada solusi,” ujarnya.
Di dalam family model, sebut Doktor Johan, pelaku tindak pidana penipuan dianggap seperti anak yang nakal dan
negara seperti seorang bapak atau orang tua.
Si anak ini tetap anak. Bagaimana si anak yang nakal ini supaya memahami bahwa kesalahannya, maka kewajiban dari si anak yang nakal ini kalau dia mengambil sesuatu, ya dikembalikan. Kalau seandainya dia belum bisa mengembalikan secara langsung dari hasil penipuannya, dia dapat diperkerjakan di dinas sosial.
“Belanda itu beberapa institusi yang bergerak di bidang sosial. Si anak itu bisa bekerja. Setelah mendapatkan uang maka hasilnya untuk membayar kerugian dari korbannya sampai selesai. Itu solusi kalau memang dia tidak bisa membayar. Di Belanda dia diberikan pekerjaan. Setelah mendapatkan gaji disisihkan untuk membayar dan untuk biaya hidupnya juga. Indonesia hendaknya meniru yang di Belanda,” pungkas Doktor Johan Widjaja SH,. MH.
Sebelumnya, ujian Promosi Doktor Johan Widjaya itu diketuai oleh Prof. Dr. Slamet Suhartono S.H., M.H. CMC. sebagai guru besar ilmu hukum. Serta didampingi promotor Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.H. dan co-promotor Dr. Erny Herlin Setyorini S.H., M.H.
Untuk tim pengujinya ada delapan orang. Yaitu Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, M.M., C.M.A., C.P.A. Prof. Dr. Made Warka, S.H., M.Hum. Prof. Dr. Prasetijo Rijadi, S.H., M.Hum. Prof. Dr. Slamet Riyadi, M.Si., Ak., CA. Dr. Yovita Arie Mangesti, S.H., M.H. Dr. Syofyan Hadi, S.H., M.H. Dr. Rr. Amanda Pasca Rini, S.Psi., M.Si., Psikologi. Dr. Endang Prasetyowati, S.H., M.Hum. (Han)