JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan dan tenaga kerja dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr Mufida Kurniasih kecewa dengan keputusan pemerintah dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena tetap menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Iuran untuk peserta BPJS Kesehatan itu dinaikkan pemerintah sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No: 75/2019 dan diberlakukan untuk semua kelas dan klasifikasi peserta tanpa kecuali mulai Januari 2020.
Memasuki awal 2020, di tengah bencana yang dialami masyarakat di sebagian besar wilayah Indonesia seperti banjir di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi (Jabodetabek), banjir bandang di Kabupaten, Provinsi Banten dan angin puting di sejumlah daerah di Pulau Jawa dan bencana lainnya di berbagai wilayah di Indoneisa.
Peserta kelas satu dan dua, ungkap wakil rakyat dari Dapil II Provinsi DKI Jakarta tersebut, mengalami kenaikan lebih dari 100 persen dari iuran semula. Peserta kelas tiga mandiri naik 65 persen.
Peserta mandiri ini sebagian besar berasal dari kalangan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). “Kedua kelompok tersebut sebetulnya berada dalam kondisi cukup rentan miskin dan selama ini mereka umumnya sangat berat untuk memenuhi kewajiban membayar iuran BPJS,” kata perempuan kelahiran Purwokerto, 19 Pebruari 1970 tersebut, Sabtu (4/1)
Dikatakan Mufida, kenaikan iuran BPJS ini tidak hanya mengecewakan sebagian masyarakat tetapi juga sejumlah wakil rakyat di legislatif karena Pemerintah mengabaikan keputusan yang sudah dibuat bersama dengan Komisi IX DPR RI.
Disela-sela kunjungan ke Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta, Mufida mengatakan, Pemerintah terdiri dari Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan BPJS Kesehatan telah dua kali melakukan rapat maraton dengan Komisi IX yaitu 7 November 2019 dan 12 Desember 2019.
Dikatakan, rapat dilakukan untuk mencari solusi bagaimana kenaikan iuran yang cukup besar ini tidak dilakukan, setidaknya bagi peserta kelas III dari PBPU dan BP karena akan cukup memberatkan ditengah situasi ekonomi yang masih lesu.
Sejak rapat gabungan 2 September 2019, Komisi IX DPR RI tegas menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan terutama untuk peserta kelas III PBPU dan BP.
Bahkan dalam Rapat 12 Desember sudah ada kesepakatan untuk mengambil alternatif kedua diantara tiga alternatif yang diusulakan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengatasi keberatan kenaikan iuran untuk kelas tiga peserta PBPU dan BP.
Yang disepekati saat itu adalah alternatif kedua dimana manajemen BPJS akan memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta PBI yang diproyeksikan tahun mendatang akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres No. 75/2019.
Profit inilah yang akan digunakan untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta PBPU dan BP kelas III. Dengan kata lain, dalam kesepakatan ini tidak ada kenaikan iuran yang akan dibebankan kepada peserta PBPU dan BP kelas III.
Namun kenyataannya, kata kenaikan yang mulai diberlakukan, juga akan dibebankan kepada semua peserta BPJS mulai 2020. Keputusan ini berarti Pemerintah mengingkari kesepakatan, bahkan yang diusulkan Menteri Kesehatan (Menkes) dan disetujui BPJS Kesehatan dalam rapat 12 Desember lalu.
Mufida kecewa dengan keputusan pemerintah yang tetap menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan kepada semua peserta. “Ini untuk kedua kalinya pemerintah mengingkari hasil rapat dengan DPR tentang kenaikan iuran BPJS ini.
“Tentu saja ini sangat memprihatinkan karena pemerintah tidak punya komitmen yang kuat untuk mengurangi beban masyarakat terutama peserta kelas III PBPU dan BP ini dengan tetap menaikan iuran BPJS nya dari Rp. 25.500 menjadi Rp. 42.000,” kata Mufida.
Pemerintah dalam Rapat Gabungan Komisi VIII, IX dan XI dengan sejumlah Menteri dan lembaga terkait, sudah berkomitmen untuk tidak membebani kenaikan iuran BPJS kelas III mandiri ini. Dalam rapat gabungan tersebut disepakati bersama pemerintah akan mencari jalan lain menyelesaikan persoalan defisit Dana Jaminan Sosial.
Ini menjadi kesimpulan rapat saat itu karena disepekati semua yang hadir. Namun, semua hasil rapat bersama dengan DPR RI, diabaikan begitu saja.
“Jika jeritan rakyat dan suara DPR RI serta hasil rapat bersama pemerintah dengan DPR RI tak lagi didengar, siapa yang harus memperjuangkan amanat UUD 1945; rakyat berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dijamin oleh pemerintah,” demikian Dr Mufida Kurniasih. (akhir)