JAKARTA, Beritalima.com– Undang-Undang (UU) No: 11/2020 yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat, akademisi, mahasiswa dan kaum buruh serta disahkan Rapat Paripurna DPR RI tahun lalu kembali mendapat sorotan.
Kali ini sorotan itu dikemukakan anggota Komisi IV DPR RI membidangi Pertanian, Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LH), drh Slamet. Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai, aturan itu memberi dampak tidak baik bagi sektor pertanian.
Slamet mempertanyakan soal alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan yang terkena imbas proyek strategis nasional. Pasalnya, dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 31, yang merevisi UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dengan menambahkan frasa dan/atau di antara huruf C dan D, membuat lahan pertanian yang terkena proyek strategis nasional tidak wajib disediakan pengganti.
“Pertanyaanya, bagaimana Pemerintah melindungi lahan pertanian di tengah laju alih fungsi lahan yang semakin tinggi beberapa tahun terakhir, produksi pertanian yang terus menurun. Dan, impor yang semakin tinggi?,” kata Slamet dalam keterangan pers yang diterima awak media akhir pekan ini.
Saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sekjen Kementerian Pertanian (Kementan), Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membahas peraturan pemerintah hasil turunan dari UU No: 11/2020 tentang Ciptaker di Ruang Rapat Komisi IV DPR RI pekan ini, Slamet juga mempertanyakan masalah ini.
Wakil rakyat dari Dapil IV Prpvinsi Jawa Barat (Kabupaten dan Kota Sukabumi-red) juga mempertanyakan terkait perubahan zona inti dalam wilayah konservasi dan hilangnya ketentuan luas hutan minimum 30 persen di daerah.
Slamet menyebut, dalam UU No: 112020 tentang Ciptaker Pasal 18 terkait revisi UU No: 27/2007 juncto UU 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 7 dan UU 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 43A, terdapat penambahan norma yang berkaitan dengan perubahan status zona inti dalam kawasan konservasi, salah satunya adalah proyek strategis nasional.
Bagi kami Fraksi PKS, lanjut Slamet, ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian perencanaan wilayah pesisir dan laut daerah serta berpotensi menjadi alat pemaksaan pemerintah pusat terhadap kebijakan perencanaan pemerintah daerah. “Tak hanya itu, adanya perubahan juga mengancam perlindungan zona inti kawasan konservasi yang sewaktu-waktu dapat diubah dengan adanya proyek strategis nasional.”
Belum lagi, sambung Slamet, pemerintah dalam revisi undang-undang kehutanan menghilangkan ketentuan luas minimum 30 persen kawasan hutan di daerah yang berpotensi semakin mempermudah perubahan ekologisi alam Indonesia. “Ini juga menjadi ancaman serius. Apalagi kita tahu sudah terjadi banyak bencana alam akhir-akhir ini,” demikian drh Slamet. (akhir)