Oleh: Birgaldo Sinaga
Meiliana dan Ratna Sarumpaet menjadi dua sosok perempuan yang paling menarik perhatian publik nasional satu bulan terakhir ini. Keduanya menjadi pembicaraan nasional.
Keduanya menjadi tersangka karena hoax. Bedanya, Meiliana dituduh menyebarkan hate speech yang tidak pernah diucapkannya.
Omongan curhatnya diplintir dari mulut ke mulut. Lalu menyebar di media sosial menjadi api. Api yang membakar kemarahan warga hingga terjadi amuk warga membakar 8 klenteng dan vihara di Tj Balai Asahan.
Sementara RS menjadi tersangka hoax karena mengakui kebohongannya. RS mengaku dirinya tidak dianiaya preman seperti omongan Capres Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Hanum Rais, Ferdinand Hutahaean, Inggrid Kansil dan lain lain.
Jumat, 28 September 2018 saya berkesempatan bertemu Meiliana di LP Khusus Perempuan dan Anak Tanjung Kusta Medan.
Saya ditemani empat orang relawan kemanusiaan Bara Baja Jun Franco, Sylvia Donda, Mulia Saragih, Iriani Octavia dan tiga orang lawyer Ibu Meiliana.
Meiliana sudah mendekam selama empat bulan di penjara sejak Juni lalu. Ia ditahan setelah keluar surat Fatwa MUI Sumut sebagai penista agama. Fatwa ini keluar setelah dua tahun peristiwa kelam Tanjung Balai Rusuh terjadi.
23 Agustus lalu, Meiliana diputus bersalah. Ia dihukum 18 bulan penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan. Keputusan hakim ini sontak mendapat reaksi negativ dari publik setanah air.
Bagaimana mungkin seorang Meiliana yang curhat pada tetangga dekatnya Kak Uwo harus masuk penjara hanya karena bilang mengapa suara toa mesjid belakangan ini terdengar lebih keras?
Tiga hari setelah Meiliana diputus bersalah, saya berinisiatif menggalang dukungan moril dan materi. Dukungan untuk menguatkan mental Meiliana yang sejak 2 tahun lalu terpaksa mengungsikan keluarganya keluar dari tanah kelahirannya Tanjung Balai Asahan.
Dari penggalangan dana itu, terkumpul uang sebesar Rp. 213.443.061,-. Ditambah aksi koin untuk Meiliana sebesar Rp. 406.000,-. Uang itu kami serahkan semua tanpa dipotong sepeserpun. Semuanya untuk membiayai kuliah dua anaknya Ferry dan Nita sampai tamat kuliah.
“Bagaimana keadaan Bu Meiliana sekarang? Sudah lebih baik? “, tanya saya saat menjabat tangannya di LP Tanjung Gusta.
“Sudah lebih baik pak”, jawabnya pelan.
Kami duduk melingkar di aula LP Tanjung Gusta itu. Meiliana didampingi Ferry anak bungsu dan suaminya. Ikut juga tiga lawyer Meiliana.
Aula itu cukup luas sekitar luas lapangan bola volley. Lantai aula dilapisi karpet plastik. Kami duduk di atas karpet. Cukup ramai pembesuk narapidana Jumat pagi itu.
“Saya tidak seperti yang mereka tuduhkan itu Pak. Saya dan Kak Uwo sudah seperti teman dekat. Hampir setiap hari saya belanja di kedainya. Tanggal 22 Juli 2016 saya curhat ke Kak Uwo. Esoknya tanggal 23 hingga 28 Juli saya masih belanja dan biasa saja normal hubungan kami. Tapi mengapa tanggal 29 tiba2 jadi rame?”, ujar Meiliana sambil mengelap air matanya pake tissu.
Saya menepuk pundaknya. Menguatkannya. Meiliana tidak mampu melanjutkan ceritanya. Matanya menatap langit-langit aula. Ia mencoba menenangkan emosinya. Menarik nafas dalam-dalam.
“Malam itu saya begitu takut Pak. Di depan rumah sudah ramai sekali. Mereka berteriak2 kencang ..bakar..bakar.. bunuh..bunuh.. “, ucap Meiliana lirih.
Malam itu menjadi petaka bagi keluarga Meiliana. Rumah yang sudah ditempatinya sejak 8 tahun lalu dibakar warga yang marah. Suara batu beterbangan memecahkan jendela kaca semakin menambah ketakutan seisi keluarga Meiliana.
Ferry (15) putra bungsu Meiliana bersembunyi dibelakang. Remaja yang masih duduk kelas 2 SMA itu pucat pasi ketakutan. Ibunya dihakimi massa. Ayahnya berlari ke Mesjid untuk minta maaf.
Malam itu Ferry benar2 ketakutan. Suara pekik massa yang menghujat dan mengancam bunuh bakar membuatnya pasrah gemetar ketakutan.
“Untunglah ada Abang tukang becak langganan kami Pak. Abang becak itu menyelamatkan anak saya. Ia dari belakang menarik Ferry. Membawanya keluar dari dapur ke rumah temannya”, ujar Meiliana sambil memandang Ferry anaknya.
Ferry yang duduk di sebelah kanan saya tampak tertunduk. Ia mengaku masih trauma. Suara amuk massa waktu itu masih terngiang kencang ditelinganya.
Rumah bagian depan sudah terbakar. Ia terjebak dalam rumah. Jika Ia keluar rumah, Ia bakal dihabisi massa. Jika tetap di dalam bisa hangus kena api.
“Saya masih sangat trauma Pak. Menakutkan sekali malam itu. Abang tukang becak itu menyelamatkan saya. Ia melarikan saya dari belakang. Lalu menyembunyikan saya dari amuk massa”, ujar Ferry.
Saya mendengar cerita ini membuat mata saya berkaca-kaca. Sekejam itukah saudara-saudara ku sebangsa setanah air menghakimi orang lemah tak berdosa ini?
Sepanjang pertemuan satu setengah jam itu, Meiliana terus meneteskan air mata. Ia tidak mampu menahan emosi perasaannya. Ia harus menerima caci maki sumpah serapah. Diancam dan diludahi bak virus penyakit menakutkan.
Ia harus terusir dari tanah kelahirannya. Meiliana lahir dan besar di Tanjung Balai.
Rumah yang ditempatinya adalah milik bosnya.
Meiliana dan suaminya bekerja pada bos yang sama. Sudah 8 tahun ikut bos ikan itu. Setiap Senin-Sabtu dari pagi hingga sore Meiliana dan suaminya bekerja. Mereka suami istri yang pekerja keras.
Meiliana bekerja sebagai bagian pembukuan keuangan. Meiliana orang jujur dan dapat dipercaya. Ia bukan orang yang suka bergosip. Ia tidak punya waktu seperti para ibu yang tidak punya kerja.
Kini, sejak peristiwa kelam itu Meiliana dan keluarganya terusir dari sana. Meiliana masuk penjara sementara suaminya belum bekerja. Hanya mengandalkan bantuan dua anaknya.
“Saya datang dari Jakarta membawa pesan bahwa Bu Meiliana tidak sendirian dalam menghadapi kejadian ini. Saya dan teman2 seperjuangan di Jakarta akan terus membela keadilan untuk Bu Meiliana. Jadi tabah dan kuat bu”, ujar saya mencoba membesarkan hati Meiliana.
“Ini ada titipan dari follower saya bu. Ada 213 juta rupiah lebih terkumpul. Cukuplah membiayai Ferry dan Nita sampai tamat kuliah. Teman2 seperjuangan saya sangat sayang dan peduli pada nasib Bu Meiliana. Ini mereka berikan untuk beasiswa anak2 ibu”.
“Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih pak”, ucap Meiliana sambil terisak. Ia menangis haru bahagia. Ia tidak menyangka mendapat bantuan hingga ratusan juta rupiah dari banyak orang. Ia tidak menyangka ada orang yang membela dan menolongnya tanpa pamrih.
Ia terus mengucap kata terimakasih. Terus dan terus berulang-ulang kata itu keluar dari bibirnya. Ia menyeka air matanya berulang kali dengan tissu. Ia benar2 terharu. Bahagia.
Suaminya Antui tampak sumringah. Pria berperawakan kurus ini tidak banyak bicara. Ia seperti pria Tionghoa kampung, lebih banyak mendengar.
“Pak Antui.. Awas ya kalo pake uang ini untuk cari istri baru”, ujar saya wanti-wanti.
Kontan semua tertawa. Pak Antui suami Meiliana ikut tertawa.
“Suami saya sangat baik Pak. Setiap hari dari Senin-Sabtu ia datang membesuk saya. Tidak pernah absen. Setiap hari membawakan makanan masakannya sendiri”, bela Meiliana sambil memandang suaminya mesra.
Kami tertawa. “So sweett ah Pak Antui”, puji Sylvia Donda relawan Bara Baja.
Di LP Tanjung Gusta, Meiliana harus menerima menu makan sangat sederhana. Setiap hari berlauk tempe. Pagi siang malam hanya tempe. Pagi tempe goreng, siangnya tempe rebus.
Setiap pagi napi harus bangun cepat untuk ikut apel pagi. Sel yang ditempati Meiliana tidak besar. Mereka ada 16 orang. Sel itu ada kamar mandinya. Mereka penghuni sel harus tidur berhimpitan. Tidak ada ruang untuk bergerak bebas. Kepala bertemu kepala.
Untuk mandi, Meiliana mengaku bisa sekali mandi 3-4 orang.
“Kalo mandi satu-satu tidak punya cukup waktu Pak. Jadi kalo mandi bisa sekali empat orang”, ucap Meiliana.
Kini Meiliana sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Awalnya berat sekali. Ia dimusuhi karena isu yang beredar itu membuat mereka membenci Meiliana. Sekarang tidak lagi.
“Waktu sudah habis ya Pak”, ucap petugas sipir penjara dari jauh.
Tidak terasa sudah satu setengah jam kami duduk lesehan di aula itu. Kami pamitan.
“Saya pamit balik Ke Jakarta ya Bu. Tetap kuat dan tabah. Tuhan tidak tidur Bu. Kami akan terus membela ibu”, ucap saya sambil memeluk Ibu Meiliana.
“Terimakasih Pak. Terimakasih ya. Salam buat teman2 dan follower bapak”, balas Bu Meiliana terbata-bata.
Kami meninggalkan Meiliana. Ia kembali ke sel penjara. Ia dikurung atas sesuatu kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.
Hanya gegara curhat biasa pada tetangga dekatnya itu Meiliana harus diasingkan. Dikerangkeng. Dipenjara. Ia menjadi korban hoax kebencian dari orang2 jahat. Orang2 penuh kebencian.
Meiliana adalah korban hoax orang2 yang penuh kebencian. Orang2 yang punya syahwat binatang. Orang2 yang tega menghancurkan hidup orang lain.
Kemarin, Presiden Jokowi juga hampir terkena badai hoax. Badai hoax yang disemburkan oleh orang2 jahat penuh kebencian. Orang2 yang tamak serakah. Orang2 yang gila kekuasaan.
Mereka memakai hoax yang diceritakan Ratna Sarumpaet dengan nafsu gila. Menuduh pemerintahan Jokowi dibalik penganiayaan RS. Menuduh preman pengeroyok RS adalah preman peliharaan Presiden Jokowi. Menuduh Presiden Jokowi membungkam RS yang kritis.
Amuk massa hendak diledakkan lagi. Amarah massa hendak diledakkan lagi. Cerita penganiayaan RS dijadikan pemicu awal. Narasinya sama persis seperti plintiran Buni Yani pada video Ahok di Pulau Pramuka.
Saya percaya kebenaran akan mencari jalannya sendiri. Seperti apa yang dikatakan Ahok saat di PN 2017 lalu ketika Ia dizolimi dengan kesaksian palsu.
“Percayalah, sebagai penutup. Kalau anda menzalimi saya, yang anda lawan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan Yang Maha Esa. Saya akan buktikan satu per satu dipermalukan. Terima kasih”, kata Ahok.
Pagi ini, sebelum pesawat Herkules membawa saya dan teman2 relawan kemanusiaan ke Palu, saya mengingat kembali Ahok dan Meiliana. Mereka korban hoax yang begitu jahat dan kejam.
Mereka adalah dua anak bangsa yang tidak berdosa tapi harus dipaksa masuk jeruji besi. Dihukum. Diasingkan. Dikerangkeng. Dirampas kebebasannya. Dirampas hak manusia merdekanya.
Tapi saya percaya cara Tuhan membela orang tidak bersalah itu sungguh mengagumkan. Sekalipun mereka dijatuhkan tapi tangan Tuhan tidak pernah membiarkan mereka jatuh tergeletak.
Martabat dan kehormatan mereka tetap dijaga. Nama mereka tetap terhormat. Mereka dihujat oleh orang jahat, tapi orang baik dan berakal sehat tetap membela dan menghormati mereka.
Saya percaya Bu Meiliana, seperti kata Ahok Gusti Allah mboten sare. Dan itu tergenapi.
Salam perjuangan penuh cinta,
Birgaldo Sinaga