JAKARTA, beritalima.com – Dua praktisi hukum memiliki Pandangan yang sama terhadap profesi advokat, yang dalam menjalankan profesinya yang Officium Nobile dan Primus Inter Pares. Prof. Dr. Topane Gayus Lumbun, S.H., M.H mantan Hakim Agung dari profesi advokat dalam diskusi advokat Indonesia yang diselenggarakan KAI di Komisi Yudisial, Rabu (11/12/2019) menyatakan organisasi advokat harus single bar, sesuai Pasal 28 Ayat 1 UU No.18 tahun 2003, yang telah diberi delapan kewenangan.
Lebih lanjut dikatakan Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M terhadap diskusi itu menurutnya bagus, apalagi mendiskusikan bagaimana mengembalikan marwah dan martabat advokat harus didukung penuh oleh insan advokat. Soal beda pendapat pasti terjadi namun dalam diskusi jangan sekali – sekali hanya mementingkan advokat belaka, tapi yang lebih utama yang dipikirkan adalah semua diskusi ini harus berguna untuk kepentingan pencari keadilan masyarakat.
“Tapi kalau hanya kepentingan advokat belaka dan rakyat ditinggalkan, akhirnya sia – sia. Kalaupun saya berprinsip bahwa organisasi advokat itu adalah single bar bukan karena saya membela kepentingan advokat tapi saya justru membela kepentingan para pencari keadilan yang notabenenya adalah masyarakat,” tandas Prof. Otto Hasibuan kepada beritalima.com, Rabu (11/12/2019) di bilangan duta merlin, Jakarta.
Menurutnya, bagi Prof Otto, terhadap diskusi tersebut sesuai temanya bagaimana mencari seorang advokat yang profesinya Officium Nobile, yang terhormat maka harus memiliki kedudukan yang Primus inter Pares atau yang terbaik dari yang terbaik (best of the best). Lalu kata Prof. Otto, bagaimana seorang menjadi terhormat profesi yang terhormat kalau tidak menjadi yang terbaik.
“Dan berarti advokatnya harus baik, jujur, barulah bisa mencapai profesi yang nobile/yang terhormat dan mulia. Tapi kalau advokatnya itu ecek – ecek (abal-abal), ya pasti engga mungkin mulia. Oleh karena itu advokatnya harus berkualitas baik. Punya kompetensi yang hebat, punya kejujuran yang luar biasa, barulah menjadi profesi advokat yang terhormat,” tandasnya.
Lanjutnya, untuk menjadi profesi advokat yang hebat, yang pinter dan jujur maka rekruitmen harus dilakukan dengan ketat. Sedangkan untuk mendapatkan advokat yang berkualitas, dengan standarisasi profesi advokat yang berkualitas. Maka satu – satunya harus single bar, wadahnya satu.
“Wadahnya harus satu, namun kalau sampai beberapa wadah melakukan rekruitmen advokat dan beberapa wadah melakukan ujian pendidikan advokat. Maka pasti standarisasi profesinya itu tidak sama karena ada yang rendah dan ada yang baik,” imbuhnya.
Namun bila itu terjadi kata Prof. Otto tidak akan bisa dicapai didapatkan seorang advokat yang hebat tadi, yang jujur yang pintar yang primus inter pares itu. Kalau seorang advokat bisa diarahkan menjadi Primus Inter Pares menjadi orang terbaik dari yang terbaik agar profesi yang mulia itu bisa dicapai. Maka pwlengawasan terhadap advokat itu harus ketat dan kuat.
“Nah pengawasan ini harus ditentukan dalah satu wadah yaitu dewan kehormatan atau dewan komisi pengawasan. Tapi kalau pengawasannya diserahkan masing – masing organisasi maka ini tidak akan tercapai juga yang berkualitas itu karena dikhawatirkan mao diperiksa disini pindah kesana atau mao diperiksa disana pindah kesana,” pungkasnya.
Tambahnya, apapun yang telah dikatakan Prof. Otto, cita – cita untuk mendapatkan advokat yang Primus Inter Pares dan yang nobile, profesinya yang Officium Nobile, mutlak harus single bar. “Di negara lain dalam dunia ini tidak ada lagi dispute dan tidak lagi persoalan multi bar atau single bar. Itu semua gak lernah dipersoalkan, semuanya udah tau, single bar adalah suatu keharusan dan tidak perlu dilerdebatkan lagi,” tandasnya. ddm