Dua Tersangka Korupsi Pengadaan Tanah Polinema Ditahan, Kerugian Negara Mencapai Rp.22,6 Miliar

  • Whatsapp

MALANG — Kejaksaan Tinggi Jawa Timur resmi menetapkan dan menahan dua tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah di lingkungan Politeknik Negeri Malang (Polinema) tahun 2019–2020. Mereka adalah AS, Direktur Polinema periode 2017–2021, dan HS, pihak yang menjual tanah kepada institusi pendidikan tersebut. Kamis (12/6/2025).

Penetapan tersangka ini berdasarkan dua Surat Perintah Penyidikan terbaru: Nomor Print-9/M.5/Fd.2/01/2025 tertanggal 3 Januari 2025 dan Nomor Print-848/M.5/Fd.2/06/2025 tertanggal 11 Juni 2025. Kedua tersangka langsung ditahan untuk 20 hari ke depan, sebagaimana diatur dalam Surat Perintah Penahanan masing-masing dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

AS diduga telah melakukan pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, tanpa melibatkan panitia pengadaan yang resmi dibentuk pada 2020. Anehnya, negosiasi dan penetapan harga tanah dengan HS telah dilakukan jauh sebelum panitia terbentuk, dan dilakukan secara pribadi oleh AS.

Tanah seluas 7.104 m² tersebut dihargai Rp6 juta per meter persegi, dengan total nilai mencapai Rp42,6 miliar. Penetapan harga ini dilakukan tanpa melibatkan jasa penilai independen (appraisal) sebagaimana diwajibkan oleh Perpres Nomor 148 Tahun 2015 jo. Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2015. Sebagian besar dokumen pendukung yang digunakan untuk pencairan dana pun terindikasi backdate dan tidak sesuai fakta, termasuk notulen rapat, berita acara, dan surat kuasa.

Pada 30 Desember 2020, AS memerintahkan pencairan uang muka sebesar Rp3,87 miliar kepada HS. Ironisnya, saat itu HS belum memiliki surat kuasa untuk menjual tanah tersebut—surat kuasa baru terbit pada 4 Januari 2021. Pembayaran dilakukan berdasarkan dokumen-dokumen yang disusun belakangan dan tidak sah secara administratif.

Sampai tahun anggaran 2021, AS telah memerintahkan total pembayaran sebesar Rp22,6 miliar kepada HS. Namun, tidak ada satu pun bukti kepemilikan atau perolehan hak atas tanah yang telah dicatat sebagai aset negara. Proses pengadaan tanah juga bertentangan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), karena sebagian tanah masuk ke zona sempadan sungai dan ruang manfaat jalan, yang tidak dapat dimanfaatkan untuk pembangunan kampus.

Sebagian dari dana pengadaan tanah juga dialihkan untuk membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) senilai Rp7,4 miliar, padahal proyek pengadaan tanah untuk lembaga pendidikan negeri semestinya bebas dari BPHTB berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dan UU No. 2 Tahun 2012.

Akibat praktik ini, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp22.624.000.000. AS dan HS disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor, dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Penahanan terhadap AS dan HS dimulai pada 11 Juni 2025, berdasarkan surat perintah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor Print-847 dan Print-849. Keduanya kini mendekam di tahanan untuk 20 hari ke depan, sembari menunggu proses hukum lebih lanjut. (Han)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait