Jakarta – Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Bidang Agraria dan Maritim melaksanakan webinar tentang konflik agraria dan perampasan tanah masyarakat yang dilakukan oleh mafia tanah.
Adapun tema yang diangkat adalah ‘Memberantas Mafia Tanah dan Memastikan Hukum Sebagai Panglima Tertinggi Indonesia’.
Dalam acara itu, hadir Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra, Mantan Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Tanah, BPN Sumatera Utara, Budi Djatmiko, Sekretaris Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon (AEAB) Rembah Keliat, serta Kuasa Hukum Kelompok Tani AEAB sekaligus Juru Bicara Aliansi Masyarakat Berantas Mafia Tanah (AMBAT), Theo Cosner Tambunan.
Kepada Wamen ATR/BPN Surya Tjandra, Sekretaris Kelompok Tani AEAB Rembah Keliat berharap agar masyarakat Kelompok Tani mendapatkan bantuan hukum. Sebab, dia menilai, aparat maupun pejabat pemerintah di Provinsi Sumatera Utara selama belasan tahun ini tidak bisa menyelesaikan persoalan yang dialami Kelompok Tani AEAB.
“Lahan seluas 102 hektar yang kami garap sejak tahun 1998 di Desa Durin Tonggal, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, diserobot oleh mafia tanah dan dibangun perumahan. Dua minggu lalu sisa lahan garapan seluas 30 hektar dibuldoser oleh pihak mafia tanah. Padahal selama ini kami sudah tanami ubi, jagung, palawija, dan sawit,” kata Rembah dalam siaran pers yang diterima pada hari Jumat, 12 Maret 2021.
Kelompok Tani merasa tidak ada keberpihakan atas persoalan yang mereka alami. Rembah menilai dari pihak terkait di Sumatera Utara tidak menjalankan instruksi Presiden Joko Widodo yang fokus untuk memberangus praktik tindak pidana mafia tanah di Indonesia.
“Mafia tanah di Sumut harus diberantas. Saya dan anggota Kelompok Tani lainnya mendapat intimidasi. Kaca mobil saya dipukul hingga retak. Anggota kami diculik. Kami merasa hak kami sebagai kelompok tani yang sudah menggarap lahan selama puluhan tahun tidak dipedulikan,” ujarnya.
Dalam webinar tersebut, mantan Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Tanah, BPN Sumatera Utara, Budi Djatmiko mengatakan sertifikat tanah yang diklaim oleh pihak mafia tanah atas lahan yang digarap oleh Kelompok Tani Arih Ersada Aron Bolon yang berada di Desa Durin Tonggal, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara disinyalir cacat hukum.
Sejak tahun 1998, kata dia, lahan HGU eks PTPN II itu sudah dikuasai oleh masyarakat. Diketahui, warga sekitar memanfaatkan tanah tersebut untuk bercocok tanam.
“Ini termasuk bagian yang tadi disampaikan Pak Surya Tjandra adalah (lahan) terlantar. Ada itu secara yuridis terlantar. Jelas memang itu awal dari dulu dikuasai oleh masyarakat. Sebelum Bi Rembah memang ini adalah ladang terlantar yang digarap oleh masyarakat, ” kata Budi.
Budi menjelaskan, para mafia tanah kerap menggunakan sertifikat yang cacat hukum untuk merampas tanah milik masyarakat. Atas dasar itu aparat keamanan tidak dapat memberikan pembelaan kepada kelompok tani. Sebab, para mafia tanah itu memiliki sertifikat.
Lebih lanjut, dia mengatakan, mafia tanah itu tidak dapat memperlihatkan kepada Kelompok Tani AEAB, dimana lahan yang diklaim milik mereka dan telah mereka kavling-kavling.
“Di sertifikat tidak ada denahnya, tidak ada gambarnya, batas-batas letaknya dan hanya menyebutkan Durin Tonggal. Letaknya dimana? Duren Tonggal itu luas sekali. Ada beberapa dusun. Oknum-oknum yang mengklaim sebagai pemilik tanah ternyata tidak bisa memperlihatkan dimana letak persis kavling mereka masing-masing,” jelasnya.
Selanjutnya, dia juga menegaskan bahwa dirinya bisa membuktikan sertifikat yang digunakan para mafia tanah itu catat hukum.
“Inilah salah satu bentuk permainan mafia tanah yaitu hanya dengan sekadar memperlihatkan sertifikat. Kita tidak pernah tahu apakah sertifikat itu palsu atau asli. Apakah sesuai prosedur hukum pembuatannya atau tidak? Saya akan membuktikan itu. Saya bisa. Saya yakin itu adalah sertifikat cacat. Saya akan buktikan secara detail itu cacat hukum,” kata dia.
Seharusnya, lanjut dia, pemilik sertifikat dapat memperlihatkan dimana lahan kepemilikan mereka itu kepada masyarakat. Namun, kenyataannya, mafia tanah tersebut tak dapat memperlihatkan secara detail.
“Begitu mereka miliki sertifikat. Mereka harus tahu tanahnya dimana. Dipasang patokannya dan tanda batas. Baru petugas mengukur. Disitulah ada namanya berita acara pengukuran dan lain sebagainya. Subjeknya tidak jelas, objeknya dimana tidak tahu. Ini salah satu role modelnya,” ujarnya.
Budi mengatakan yang mengaku punya sertifikat tidak tahu lahannya dimana. Jadi itu yang dibela oleh instansi, kepolisian, aparat militer dan sebagainya. Sertifikat bodong yang tidak tahu dimana letak pastinya.
“Saya sudah pernah ingatkan kepada rekan-rekan dan pimpinan saya. Sertifikat ini adalah cacat. Apa yang dibilang? ‘Sudah diam sajalah kau’. Tidak pernah kita melihat, meneliti kenapa sertifikat bisa dipegang mafia tanah. Apa bedanya dengan kasus Pak Dino Patti Djalal? Problemnya saya katakan, adanya sertifikat atas lahan itu yang notabenenya cacat hukum. Kalau kita melihat cacat hukum, berarti kita harus membatalkannya. Aturan untuk membatalkan sertifikat itu ada,” pungkas Budi.