Review Buku Denny JA: Spirituality of Happiness:Spiritualitas Baru Abad 21Narasi Ilmu Pengetahuan (2020)
Joas Adiprasetya(Profesor, Doctor of Theology) Lewat lensa tiga gelombang spiritualitas yang diajukan oleh Denny JA, sebenarnya saya adalah seorang yang secara kategoris berada di gelombang kedua, yaitu gelombang “wahyu”. Bahkan, saya seorang profesional penuh waktu di kategori tersebut.
Sekaligus, saya seorang yang mendedikasikan diri di wilayah ilmu pengetahuan, dalam kapasitas saya sebagai seorang dosen yang mengabdi pada ilmu pengetahuan.
Selama masa pandemi Covid-19 ini, saya mengalami situasi depresif yang cukup berat, yang melumpuhkan kemampuan saya untuk berkarya secara akademis. Alhasil, saat berjalan kaki hampir setiap pagi demi meningkatkan imunitas, saya menikmati sebuah online course yang disediakan oleh coursera.org.
Saya mengambil satu kursus online yang bertajuk “The Science of Well-Being,” yang diampu oleh Laurie Santos dari Yale University. Di awal kursus tersebut, saya sungguh terperanjat. Bagaimana mungkin Yale University menyediakan sebuah pelajaran tentang well-being atau kebahagiaan?
Namun saya mengikuti kursus itu dengan tekun, hanya untuk tiba pada serangkaian keterperanjatan berikutnya.
Di satu sisi, saya merasa “dagangan” saya sebagai seorang pendeta Kristen direbut oleh ilmu pengetahuan. Di sisi lain, saya tiba pada sebuah revelasi baru, bahwa kebahagiaan tak perlu dipahami sebagai sebuah titik-tengkar dari agama, spiritualitas, dan ilmu pengetahuan.
Ketiganya sejatinya menawarkan kebahagiaan dengan cara yang berbeda, namun dapat dan harus saling-melengkapi.
Keterkejutan dan pemahaman baru ini semakin mengkristal saat saya membaca naskah buku Denny JA ini, Spirituality of Happiness. Apa yang dituturkan dengan sangat populer namun mendalam oleh Mas Denny ini ternyata melampaui apa yang saya peroleh dari kursus online yang diampu oleh dosen Yale University tersebut.
Saya cukup lama mengikuti sepak-terjang Denny JA yang cetusan pemikirannya memang tak mudah diikuti dengan cara seperti seorang berjalan pagi santai.
Kita hanya dapat secara tergopoh-gopoh mengikuti isi batin dan otak dari seorang Denny JA, yang mungkin dapat dikategorikan sebagai seseorang dengan “otak hutan hujan tropis” (rainforest mind), untuk mengikuti istilah yang diusulkan oleh Paula Prober.
Yaitu, seorang yang sangat sensitif pada dunianya, kreatif, intense, dan rumit. Singkatnya, ia adalah seorang yang complex sekaligus gifted.
Jika Anda mengikuti perjalanan publik Denny JA yang panjang itu—walau dengan tergopoh-gopoh—maka saya dapat paham jika Anda melihat buku terakhir ini tampak seperti sebuah anomali.
Sebab, sebagian besar karya beliau memang berkisar di dunia politik, khususnya untuk topik demokrasi di Indonesia. Selain itu, kiprahnya di bidang opini publik dan survei tak diragukan, khususnya melalui Lingkaran Survei Indonesia.
Dan sekarang, hmmm, “Denny JA menulis buku spiritualitas? Apa tidak keliru?” Namun, jangan salah sangka. Ia juga adalah seorang pujangga. Bukan sembarang pujangga, ia menampilkan cinta, kehidupan, dan kebajikan dengan aroma estetik yang mempesona.
Itu sebabnya, saya lebih melihat buku Spirituality of Happiness ini bukan sebagai sebuah detour atau jalan memutar tersesat. Buku ini malah dapat kita lihat sebagai sebuah summit atau puncak.
Ia adalah titik kulminasi dari pencarian batin seorang Denny Januar Ali sepanjang hidupnya. Maka, saya percaya, jika pun Denny JA menulis buku politik dan demokrasi lagi, maka apa yang akan ditulisnya sangat mungkin adalah sebuah “politik kebahagiaan,” untuk meminjam istilah dari judul buku Derek Bok, bekas rektor Harvard University.
Artinya, bagaimana sesungguhnya hidup bersama itu perlu dikelola sebaik mungkin demi kebahagiaan bersama dari manusia yang hidup bersama di dalam semesta yang satu ini. Politik harus menjadi kendaraan untuk menggapai hasrat kebahagiaan kolektif, dan bukan malah mengendarai manusia untuk kepentingan segelintir manusia yang dipenuhi libido kekuasaan.
Maka, apa yang sungguh saya apresiasi dari buku Spirituality of Happiness ini sesungguhnya adalah keseriusan penulis untuk melakukan embara spiritual tanpa menampik pentingnya tuntunan ilmu pengetahuan atau bersikap pseudoscientific.
Sekaligus, penulis menarasikan pentingnya ilmu pengetahuan tanpa mencemooh pentingnya agama bagi pencarian makna hidup manusia. Di dalam potret homo sapiens, baik ilmu pengetahuan, agama, dan spiritualitas saling bergandengan tangan untuk menggapai kebahagiaan bersama.
Itulah napas utama dari buku ini. Dan untuk itu, secara perlahan, keterkejutan awal saya perlahan mereda dan beralih menjadi sebuah keteduhan batin dan akal yang membuat saya makin mengapresiasi karya Denny JA ini.
Denny JA bukanlah seorang yang skeptis terhadap agama. Ia sungguh menghargai tradisi-tradisi religius yang dicacah sebanyak 4.300 itu. Akan tetapi, jika saya boleh mempergunakan bahasa dari tradisi Kristiani saya, saya menemukan kegelisahan penulis pada “agama” yang kerap kali terjebak ke dalam ritualisme atau doktrinalisme yang kaku dan beku, hingga agama justru lebih menyengsarakan daripada membahagiakan manusia.
Dan semua ini kerap dipelihara justru dengan meminjam nama Yang Ilahi. Lantas, spiritualitas yang diusulkan penulis bagaikan suara dari padang gurun, vox clamantis in deserto, yang berteriak mengecam kering-kerontangnya agama sekaligus mengundang manusia menuju pada inti utama agama: kebahagiaan!
Maka, jika agama lebih mengundang kita pada imaji bait ilahi atau rumah ibadah yang kokoh dan solid, spiritualitas membawa kita pada imaji embara yang liquid untuk mencari makna hidup. Lebih dalam, lebih jauh, lebih luas… sampai akhirnya justru embara itu membawa ke titik awal, ke kilometer nol, yaitu batin kita sendiri.
Dalam bahasa Denny JA, “Samudra spritualitas itu tidak di mana-mana. Ia berada di dalam diri kita sendiri.” Akhirnya, memang, perjalanan terpanjang yang harus ditempuh oleh semua homo sapiens adalah perjalanan dari otak ke batin.
Itu adalah perjalanan panjang yang sudah barang tentu memakan waktu sepanjang hayat. Dan buku Spirituality of Happiness karya Denny JA ini kiranya memberikan peta perjalanan yang luar biasa berguna, apalagi di tengah embara di masa pandemi yang serba-murung ini.
Saya mengakhiri sambutan saya atas buku apik ini, dengan menikmati kidung dari Bukas Palad, yang diawali dengan sebuah syair menggugah: “The God of silence beckons me to journey to my heart where He awaits” (Allah Sang Hening memanggilku untuk mengembara ke dalam hatiku di mana Ia menanti).
Untuk para pembaca: Selamat menikmati! Selamat menemukan 3P+2S spiritual Anda! []
Sumber Tulisan: https://www.facebook.com/100039274694152/posts/300034961315658/?d=n
-000-