Empat Tahun IETD, Fokus Pada Target Dekarbonisasi Indonesia Tahun 2050

  • Whatsapp

Jakarta | beritalima.com – Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) kembali hadir untuk memfasilitasi diskusi-diskusi mengenai transisi energi di Indonesia. Tahun keempat IETD tersebut mengusung tema Raih Dekarbonisasi Mendalam pada 2050: Tetapkan Target, Mobilisasi Aksi, dan Capai Bebas Emisi, IETD 2021 dilaksanakan secara daring melalui website ietd.info, pada Senin – Jumat, 20 – 24 September 2021 nanti.

Lebih lanjut dikatakan Fabby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif Institute for Esential Services Reform (IESR), pada acara launching IETD yang digelar secara virtual, Selasa pagi (14/9/2021) menyatakan, dialog tahun 2021 akan membahas secara terperinci jalur yang Indonesia dapat tempuh untuk mencapai bebas emisi 2050 dengan mengundang lebih dari 60 pembicara dari Indonesia maupun internasional.

Acara yang berlangsung selama lima hari yang diselenggarakan IESR dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), akan dibuka secara resmi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif. Fokus pada acara tersebut akan membahas pentingnya upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia dengan segera bertransisi energi dari energi fosil menuju pemanfaatan 100 persen energi terbarukan pada 2050.

“Sebab, upaya dekarbonisasi tentu saja memerlukan kerangka kebijakan yang kuat. Tujuannya untuk memobilisasi teknologi, dan investasi di sektor energi terbarukan. Dengan begitu, energi terbarukan bisa bersaing dengan energi fosil yang padat subsidi,” ujar Fabby pada acara launching.

Hanya saja dikatakan Direktur, secara komitmen politik dan kebijakan, Indonesia masih tidak selaras dengan Persetujuan Paris. Hal ini tercermin pada dokumen pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau Nationally Determined Contributions (NDC) 2021.

“Selain terlambat 10 tahun dari target Persetujuan Paris, IESR menilai bahwa skenario mitigasi di sektor energi dalam dokumen tersebut masih sarat dengan energi fosil,” imbuh Fabby yang dihadiri beberapa pembicara penting.

Pembicara yang hadir diantaranya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Chairman Rocky Mountain Institute (RMI) Amory Lovins, dan Executive Secretary United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Patricia Espinosa.

Masih diutarakan Fabby Tumiwa, ada tiga isu utama diangkat dalam IETD 2021 kali ini. Pertama, meningkatkan pemahaman tentang target dekarbonisasi Indonesia pada 2050. Kedua, mendorong para pemangku kebijakan untuk menetapkan target dekarbonisasi pada sektor energi kelistrikan pada 2050. Ketiga, memfasilitasi diskusi terkait tindakan yang dibutuhkan pemerintah dan tantangan untuk mewujudkan target dekarbonisasi pada 2050.

“Skenario low carbon scenario compatible with Paris Agreement target (LCCP) dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) tidak mencerminkan Indonesia mengatasi krisis iklim. Pemerintah terjebak dalam solusi palsu untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan berharap pada teknologi seperti CCS/CCUS yang mahal dan sejauh ini menunjukan tidak efektif dalam menurunkan emisi di PLTU,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

“Skenario itu katanya, justru menjauhkan kita dari transformasi sistem energi berbasis pada teknologi terbaik yang lebih handal, bersih dan kompetitif,” tuturnya.

Lebih lanjut, pernyataan Fabby yang didukung Kajian IESR berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, menunjukkan bahwa dengan terus menurunnya harga energi terbarukan, harga teknologi penyimpanan energi dan semakin besarnya penggunaan energi surya, Indonesia akan mampu mencapai nir emisi di sektor ketenagalistrikan (100% dari energi terbarukan) pada tahun 2045.

“Tentunya dengan biaya pembangkitan listrik dan kebutuhan investasi yang bahkan lebih rendah dibanding tetap menggunakan batubara,” pumgkas Fabby.

Wakil Ketua Kelompok Kerja I Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Edvin Aldrian mengatakan, mayoritas emisi gas rumah kaca ada di sektor energi kelistrikan yaitu sebesar 35 persen. Menurutnya jika pemerintah melakukan langkah penurunan karbon secara ambisius, maka karbon Indonesia bisa turun 1,5 derajat celcius pada 2040 awal.

“Lalu masa depan energi buat Indonesia ini salah satunya ada di biofuel. Akan tetapi, penurunan harga biofuel ini masih menemui tantangan. Penurunan harga itu perlu perluasan lahan, tapi itu masih jadi tantangan,” ujar Edvin Aldrian.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terbaru telah memberikan pemahaman mendalam yang berbasis saintifik mengenai fenomena perubahan iklim. Laporan tersebut kata Edwin, memprediksi bila negara di dunia tidak menerapkan langkah ambisius dalam memitigasi perubahan iklim, maka kenaikan suhu bumi melebihi 1.5 derajat Celcius akan berlangsung dalam dua dekade mendatang.

“Artinya pada 2080-2100, kenaikan temperatur rata-rata bumi bahkan dapat mencapai 3.3-5.7 derajat Celcius,” jelasnya.

Masih lanjut Edvin terkait laporan IPCC, dijelaskan bahwa dampak cuaca ekstrim yang akan lebih sering terjadi ketika temperatur rata-rata bumi naik melebihi 1.5 derajat Celcius seperti hujan lebat, kekeringan, dan heatwave. Beberapa perubahan tersebut tidak bisa diperbaiki (irreversible).

“Perubahan iklim berdampak bagi Indonesia, terutama dengan meningkatnya intensitas hujan. Pemerintah perlu melakukan adaptasi dan mitigasi. Tidak ada waktu untuk berleha. Tindakan mitigasi harus dilakukan dengan mereduksi jumlah emisi karbon di atmosfer,” tutur Edvin Aldrian di akhir kalimat.

Reporter : Dedy Mulyadi

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait