Timika,beritalima.com. Enam partai politik yang diwakili langsung oleh masing-masing ketua partai menolak dengan tegas hasil Pemilihan Umum 2019 di Kab.Timika, terutama proses pemilihan DPRD.
Mereka adalah Partai Gerindra, Berkarya, Garuda, PAN, PSI dan Demokrat. Selain partai, dua lembaga adat yakni Lemasko dan Lemasa juga menyatakan penolakan terhadap hasil pemilu kemarin.
Bertempat di Resto Jangkar, Ketua Partai PSI Abraham Timang, Ketua PAN Philipus Wakerkwa, Ketua Partai Garuda Dedi Kogoya, Ketua Partai Berkarya Atimus Komangal dan perwakilan lembaga adat Lemasko, Dominikus Mitoro kepada media di Timika, menyampaikan 7 sikap penolakan mereka.
Poin pertama yang dibacakan Ketua Partai PSI Abaraham Timang menyebutkan hasil rekapan suara partai harus berdasarkan form CI.KWK sehingga harus dilakukan penghitungan ulang secara transparan, profesional serta menghadirkan ketua-ketua partai politik sebagai saksi.
“Ada ketidakjujuran dan permainan tertentu sehingga kotak suara harus dibuka dan dihitung kembali secara terbuka. Banyak suara kami dihilangkan secara sengaja. Ada beberapa suara dari partai politik tertentu juga melambung jauh. Apakah ini benar?kita butuh pembuktian secara jujur,” tegasnya.
Poin kedua, Pemilu 2019 kemarin terutama untuk perolehan suara DPRD, ketika perolehan dan rekapan suara oleh PPD dan KPU dilakukan, telah terjadi intervensi oleh pihak tertentu tentang hasil akhir.
“Kami merasa dirugikan karena ada intervensi dari pihak tertentu, manipulasi dan kecurangan sehingga kami nyatakan rekapan tersebut tidak sah. Dengan demikian konsekwensinya, pembagian kursi harus dibagi rata kepada 16 parpol sehingga ada keperwakilan semua parpol di parlamen,” ungkapnya.
Poin ketiga, berdasarkan Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001, maka caleg DPRD, DPRP, DPD dan DPRI harus mengakomodir 70 persen Orang Asli Papua (OAP) sementara 30 persen untuk non OAP.
“Hasil ini juga tidak sesuai dengan amanah undang-undang otsus. Yang mana telah tertulis bahwa segala sesuatu harus ada keberpihakan kepada OAP. Enam partai ini dipimpin oleh enam Orang Asli Papua tapi coba lihat bahkan ketua partai juga tidak terakomodir. Banyak anak Papua tidak lolos. Kebalikan sekarang malah 70 berbanding 30 OAP,” ungkapnya.
Poin keempat, perolehan suara tiap caleg dari dapil 1-6 ternyata tidak mencapai batas sehingga untuk menentukan caleg DPRD, DPRP dan DPRI harus dikembalian ke ketua partai untuk menentukan caleg terpilih.
Poin kelima, KPU dan Bawaslu Timika diminta untuk mengakomodir rekomendasi dari ketua-ketua partai politik sehingga tidak menciptakan terjadinya kesenjangan sosial dalam proses penetapan hingga pelantikan caleg terpilih.
Untuk caleg Provinsi Papua dari Dapil III Timika, enam partai ini merekomendasikan salah satu putra daerah atas nama Yohan Zonggonau, caleg nomor urut 1 dari PSI. Demikian bunyi poin keenam.
Sementara poin ketujuh menyebutkan bahwa masing-masing ketua partai merekomendasikan 3 perwakilan untuk menduduki kursi DPRD Timika Periode 2019-2024 dengan menyertakan daftar terlampir yang berisikan nama caleg yang direkomendasikan.
“Setelah publikasi lewat media, besok secara resmi kami akan serahkan 7 rekomendasi ini ke KPU Timika, Kapolres, Bawaslu, Dandim, dan dilanjutkan ke KPU dan Bawaslu Provinsi serta Pusat,” tegas Abraham Timang.
Ia mengatakan, tidak ada alasan bagi Bawaslu maupun KPU Timika untuk tidak mengakomodir 7 tuntutan ini. Karena tuntutan ini mewakili hak kesulungan anak-anak asli Papua yang semakin hari terus tersingkirkan dalam berbagai aspek kehidupan.
“Ada konsekwensinya. Mereka harus menerima rekomendasi ini. Ketua partai hingga banyak anak Papua dari 6 partai ini tidak ada suara sedangkan ada yang baru datang tiba-tiba nama muncul dan suara banyak. Keberpihakan otsus sudah sangat jelas terhadap masyarakat lokal,” terangnya.
Ketua Partai Politik PAN, Philipus Wakerkwa mengatakan enam partai tidak akan mengambil langka ini jika pemilu kemarin hasilnya transparan dan tidak ada intevensi maupun penghilangan suara yang dilakukan untuk merugikan partai-partai lain.
“Teman-teman pers juga pasti tahu semua permainan ini. Kalau semua berlaku jujur, kami tidak mungkin seperti ini. Bagaimana bisa banyak parpol tidak dapat salinan C1, petugas KPPS juga tidak tahu apa yang harus dilakukan di lapangan. C1.KWK harus diberikan kepada saksi. Kebanyakan tidak dikasih. Pemilu macam apa ini? Siapa yang menciptakan situasi seperti ini?,” ujarnya.
Ia menambahkan, telah terjadi sejumlah kecurangan yang dilakukan secara sistematis sehingga mengorbankan banyak orang. Bahkan OAP semakin dikerdilkan dalam pemilu ini.
“Kami pertanyakan kenapa seperti ini. Ada apa? Harga diri kami sebagai orang papua kalian ambil dan berikan kepada orang lain. Tuntutan kami ini harus diakomodir. Jangan matikan hak OAP. Kami akan bawah masalah ke presiden. Otsus diberikan karena orang Papua selalu bicara merdeka. Tapi hak khusus untuk kami saja diambil, dimana harga diri kami,” ungkap Wakerkwa.
Atimus Komangal, Ketua Partai Berkarya bahkan menegaskan jika 7 poin rekomendasi ini tidak diakomodir maka ia pastikan tidak akan terjadi pelantikan.
“Kami tidak main-main. Kami tidak akan mundur dan kawal terus rekomendasi ini sampai tidak boleh ada pelantikan. Kami tidak boleh diam melihat semua kecurangan ini. Contoh kecil, di Kwamki Lama saja C1 tidak diberikan ke partai. Ada apa ini!? Kita belum bicara kecurangan di distrik-distrik lainnya,” tegasnya.
Mewakili dua lembaga adat Lemasko dan Lemasa, Wens Mitoro menyampaikan dua lembaga ini sedari awal terus memantau hasil pemilu kemarin. Mereka juga menerima sejumlah laporan ada terjadinya banyak penyimpangan serta intervensi yang dilakukan secara terstruktur.
“Kami dua lembaga ini menegaskan, tolong KPU dan Bawaslu selamatkan OAP. Kami sudah ingatkan juga kalau kerja di tanah ini harus jujur. Terpenting adalah jujur kepada orang Papua,” ujarnya.
“Jangan ada orang lain yang intervensi orang Papua untuk kepentingan mereka. Orang Papua harus diselamatkan untuk membangun rumah mereka sendiri. Mereka harus ada di dewan karena mereka lebih mengenal dan ingin membangun masyarakatnya sendiri,” jelasnya.
Mitoro menambahkan, 70 persen OAP harus di legislatif. Ini merupakan salah satu cara anak Papua menjadi tuan di negerinya sendiri. Jika ini diselewengkan maka selamanya OAP terus menjadi asing di rumahnya.
“Kalau permainan dari awal-awal sudah seperti ini, bagaimana kita mau membangun Timika. Pihak yang mengintervensi tolong jangan matikan hak mutlak orang Papua. Daerah ini sudah aman. Pemerataan di legislatif harus diutamakan. Atas nama dua lembaga, kami memohon agar KPU dan Bawaslu memihak kepada orang Papua. Karena mereka harus mewakili diri dan masyarakat mereka sendiri,” terangnya.
(Lasatia/Timika)