Jakarta, beritalima.com |– Di era digital seperti sekarang ini, seorang untuk menjadi sastrawan dengan menulis cerpen, puisi, dan lain-lain, menjadi sangat mudah terbuka. Karena hadirnya teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) misalnya, sangat membantu kita dalam berkarya sebagai penulis.
Gambaran tersebut diungkapkan penulis senior Eka Budianta, saat berdiskusi bertema Sastra, Demokrasi, Lingkungan, diselenggarakan oleh Perkumpulan Penulis Satupena di Jakarta (20/6). “Dengan AI kita bisa menulis cerpen, esai, puisi, novel, bahkan lagu dengan komposisi musik dan liriknya,” jelas Eka.
Eka menceritakan, penyusunan karya tulis kini menjadi sebebas-bebasnya. Tanpa seleksi, tanpa penilaian dewan redaksi, dan bahkan tanpa komentator atau kritik yang memadai.
“Etika dan estetika baik dalam kalimat maupun pengertiannya menjadi sangat longgar. Yang penting menarik dan berguna. Bisa menjadi hiburan, bisa memberi inspirasi, semangat hidup dan melanjutkan perjuangan,” sambungnya.
Menurut Eka, beruntung bila masih ada penghargaan untuk mengenang zaman yang lampau. Sejarah kesusasteraan Indonesia memang dipenuhi dengan inovasi dan “pemberontakan”. “Pada masa silam, para pujangga adalah staf atau karyawan kerajaan. Tugasnya mengharumkan nama para raja, membuat mitos, legenda dan kisah-kisah heroisme,” kisah Eka.
Ditambahkannya, pada dasawarsa 1920-an, muncul novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar sebagai karya sastra modern Indonesia yang pertama. “Ternyata bukan hanya puja-puji tentang kehidupan di istana, rakyat jelata juga boleh menulis dan mendapat bacaan tentang nasib sendiri,” paparnya.
“Singkatnya, setiap puisi harus berguna. Bisa sebagai kritik pada penguasa, seperti yang ditulis Rendra. Bisa juga sebagai hiburan dan nasihat, seperti yang ditulis oleh Joko Pinurbo,” ujar Eka.
Dalam kenyataannya, tambah Eka, masyarakat memerlukan banyak kesadaran. Mulai dari sadar gender, sadar sejarah, sadar ekonomi, sadar hukum, dan sadar nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama.
Jurnalis: Rendy Fitria/abri