Denny JA
Di era Google. Di era revolusi industri keempat. Di era ketika disrupsi dan perubahan mendasar terjadi pada teknologi, bisnis, politik, dan media massa.
Disrupsi dan perubahan mendasar juga terjadi pada cara kita memandang dan menikmati dunia agama.
Fenomena ini akan semakin sering kita saksikan. Ia akan melanda pada semakin banyak dan semakin beragam manusia.
Hari Natal datang. Sinterklas juga tiba. Hari besar ini tak hanya dirayakan oleh pemeluk agama kristen. Pemeluk agama lain, bahkan yang yak beragama sekalipun ikut merayakan. (1)
Mereka menikmati kehangatan komunitas. Tukar menukar hadiah. Menghiasi ruang tamu dengan pohon terang. Bahkan ikut menjadi tuan rumah acara, walau sepenuhnya mereka tak percaya Yesus lahir tanggal 25 desember.
Mereka ikut membagi kasih sayang dalam perayaan itu, walau mereka tak percaya ada manusia yang bisa lahir dari Ibu yang perawan.
Bulan ramadhan tiba. Buka puasa. Bunyi bedug bertalu- talu. Momen satu bulan itu, dan hari raya di ujungnya, tak hanya dirayakan oleh penganut Islam. Penganut agama lain, dan bahkan yang tak beragama ikut merayakannya. (2)
Mereka ikut menikmati keunikan berpuasa, berlapar berhari- hari, walau mereka tak percaya konsep surga hanya untuk orang Muslim. Mereka ikut merasakan kehangatan bermaaf-maafan, walau tak percaya Quran itu wahyu dari Tuhan pemilik semesta.
Hari menyepi tiba. Malam dibiarkan gelap gulita. Merenung masuk ke dalam diri. Momen ini ikut dinikmati oleh mereka yang tidak beragama Hindu, bahkan yang tidak beragama. (3)
Mereka ikut menikmati keunikan tahun baru saka, walau tak percaya hadirnya dunia dewa-dewa. Mereka bahkan bersedia datang dari jauh ke Bali, menikmati momen ini, walau sama sekali tak percaya Bhagavad Gita itu karya Dewa Ganesha.
Mereka bisa semalam suntuk mendengar wayang. Itu kisah perang baratayudha. Itu kisah pandawa lima.
Mereka ambil pelajaran moral kisah itu, walau tak percaya, dewa ganesha itu mahluk sakti berwajah gajah.
Mereka menikmati kisah Nabi Musa membelah laut. Walau mereka tak percaya ini benar benar terjadi dalam sejarah.
Mereka ambil hikmah kisah Nabi Nuh, walau tak meyakini ada banjir besar yang bisa menenggelamkan seluruh bumi. Air yang ada di seluruh semesta tak cukup untuk bisa menenggelamkan puncak gunung Himalaya.
Itu kisah Nabi Ibrahim yang mengurbankan anaknya, mereka ikut menyelami dan menikmati filosofinya. Dan mereka tak terlalu peduli siapakah anak yang dikurban Nabi Ibrahim itu? Ishak kah seperti yang diyakini umat Kristen? Atau Ismail kah seperti yang diyakini umat Islam?
Mereka juga tak peduli kok bisa penganut dua agama besar meyakini dua fakta yang berbeda, dan tetap diyakini lebih dari satu milyar manusia, dan lebih dari seribu tahun?
Itulah ilustrasi ketika dunia agama menjadi kekayaan kultural milik bersama. Agama tak lagi mereka dekati sebagai doktrin benar dan salah. Tapi agama mereka hidupi sebagai dokumen peradaban.
Mereka yang meyakini agamanya sebagai satu satunya kebenaran mutlak tetap hadir, keyakinan “hanya agama saya yang benar,” itu tetap tumbuh dan dihormati.
Tapi mereka yang tak lagi percaya pada agama itu, tetap menikmati agama itu sebagai kekayaan kultral belaka. Sama seperti mereka menikmati kekayaan adat istiadat.
Inilah kearifan baru yang akan semakin banyak di era google: memandang, menghormati dan menikmati agama sebagai kekayaan kultural milik belaka.
Tak hanya sebanyak 4300 agama yang kini ada dihormati, dan dianggap kekayaan kultural milik bersama. Tapi juga puluhan ribu aliran kepercayaan, mulai dari yang diyakini suku Aborigin di Australia, hingga suku terasing di pedalaman Afrika.
-000-
Mengawali disrupsi dan perubahan besar dalam memahami agama, terjadi lebih dahulu dua trend besar.
Pertama, trend menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama. Kedua, trend menjadikan intisari ajaran agama sebagai inspirasi.
Apa itu trend ruang publik yang dinetralkan dari dominasi satu agama?
Negara nasional yang modern bertumpu pada konsep kewarga negaraan. Sudah menjadi hukum besi semua negara modern: semua warga negara memiliki kedudukan hukum yang setara, apapun keyakinan agama.
Ruang publik negara nasional itu milik bersama yang harus bisa dinikmati oleh semua warga negara, tanpa diskriminasi.
Tiga alasan yang membuat negara modern menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama saja.
Alasan pertama: solusi jalan tengah.
Penganut agama A tak ingin agama B, atau agama C, atau agama D, dan agama lainnya yang mendominasi ruang publik. Penganut agama B juga tak ingin agama A, agama C, agama D dan agama lainnya yang mendominasi.
Sementara kini ada 4300 agama. (4) Di setiap agama besar juga ada aneka aliran yang berbeda pula. Di kristen, ada protestan, katolik dan puluhan aliran lain.
Di Islam: ada Sunni, Syiah, Ahmadiyah, dan lainnya. Perbedaan aliran internal lain juga terjadi pada agama besar lain.
Ruang publik yang dinetralkan dari dominasi satu agama menjadi solusi jalan tengah. Jika tidak, akan terjadi pertarungan tiada henti, bahkan berdarah berebut menjadi agama penguasa tunggal ruang publik.
Alasan kedua: alasan faktual.
Sudah ditulis dalam esai sebelumnya. Data menunjukkan. Top 10 negara yang paling membuat warga bahagia. Top 10 negara yang pemerintahannya paling bersih. Top 10 negara yang paling sejahtera. Pada semua negara itu, warga menganggap agama tak lagi memainkan peran penting dalam hidupnya. (5)
Bukankah negara ideal harus membuat warga negara bahagia, sejahtera, dan pemerintahannya bersih dari korupsi?
Semua contoh faktual yang ada menunjukkan di berbagai negara TOP 10 itu, ruang publiknya netral dari dominasi satu agama. Itu memang fakta. Itu data. Itu realita. Itu kenyataan!
Fakta lebih kuat daripada kepercayaan.
Alasan ketiga, alasan esensial.
Dunia agama adalah dunia kepercayaan. Kristen percaya Yesus (Nabi Isa) mati di salib. Islam percaya Nabi Isa tak mati disalib. Kepercayaan atas dua fakta yang bertolak belakang itu masing masing dihormati.
Tapi ruang publik, tapi public policy, tapi roda ekonomi, tapi roda politik, tapi roda teknologi adalah dunia perdebatan. Itu ruang saling berbantah untuk mendapatkan solusi lebih baik untuk lebih banyak warga negara. Itu ruang yang selalu berubah.
Ruang perdebatan adalah ruang riset empirik. Ruang itu tak bisa disandarkan kepada kepercayaan belaka. Justru ruang publik itu harus menghidupkan keraguan.
Itu sebabnya semakin ruang publik dinetralkan dari dominasi satu agama, ia akan lebih mudah bahkan untuk membuat lebih banyak warga negara lebih bahagia.
-000-
Apa itu trend intisari agama menjadi inspirasi?
Ini era post materialism. Era ketika data menunjukkan lebih banyak orang mati karena kebanyakan makan ketimbang kekurangan makan.
Data menunjukkan lebih banyak orang mati karena bunuh diri ketimbang karena korban terorisme plus perang plus bencana alam.
Ini era kebutuhan meaning of life. Sebanyak 4300 agama yang ada plus puluhan ribu aliran kepercayaan lain adalah samudera inspirasi untuk meaning of life.
Tiga intisari terpenting dunia agama dan kepercayaan adalah kebajikan, power of giving dan kesatuan manusia (oneness).
Kebajikan atau virtue dianggap satu satunya nilai esensial. Semua hal lain hanya bernilai positif jika ia membawa kebajikan.
Kekayaan, kekuasaan, Ilmu pengetahuan hanya positif jika ia membawa kebajikan. Tapi jika membawa keburukan, kekuasaan, kekayaan bahkan pengetahuan menjadi negatif.
Power of giving itu intisari dunia agama berikutnya. Kapanpun, dimanapun, pasti selalu ada segmen masyarakat yang jauh lebih lemah.
Tradisi memberi, menolong, berbagi kini tak hanya dianggap penting. Berbagai riset menunjukkan power of giving menjadi satu mindset dan habit yang menimbulkan kebahagiaan otentik.
Kesatuan manusia menjadi tema sentral banyak agama. Karena Tuhan satu, alam semesta juga satu, maka manusia juga satu.
Bahkan rasa satu (oneness) antara sesama manusia, manusia dan alam, juga menimbulkan tak hanya happiness. Ia juga positif bagi cinta lingkungan hidup karena pohon, sungai dan udara dianggap bagian dari keluarga.
Di era post materialism, justru peran dunia agama sebagai samudra inspirasi bagi meaning of life menjadi penting.
-000-
Inilah intisari buku ini. Bersama dengan revolusi industri ke empat, terjadi pula disrupsi dan perubahan mendasar dalam cara kita memandang agama.
Yaitu bergesernya pemahaman agama di era Google, dari Kebenaran Mutlak menjadi kekayaan kultural milik bersama.
Dua trend besar memulainya: menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama. Dan trend mengambil intisari agama untuk meaning of life.
Di balik dua trend besar itu, berkerja 11 fakta baru dan lama, yang semakin lama semakin kuat. Antara lain ilmu pengetahuan dan teknologi yang kini menjadi kekuatan kreatif peradaban.
Sebelas fakta (baru dan lama) di era Google menjadi hukum besi, yang perlahan tapi pasti, mendorong kita menghormati dan menikmati dunia agama yang kini jumlahnya 4300 itu sebagai kekayaan kultural milik bersama. (6)
Seorang rekan menyebutkan pernyataan “Sebelas Fakta di Era Google yang akan mendorong kita menghormati dunia agama sebagai kekayaan kultural milik bersama” itu adalah Denny JA’s Law on the Future of Religions. Saya hanya tersenyum.
Agama memang sumbu peradaban paling dalam. Sebanyak 4300 agama yang ada, dan puluhan ribu kepercayaan yang hadir layak kita hormati sebagai kekayaan kultural milik kita bersama.*
Jan 2021