JAKARTA, Beritalima.com– Anggota DPD RI pemilihan Provinsi Maluku, Prof Dr Jhon mengusulkan agar ke depan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) tidak diselenggarakan secara bersamaan seperti yang terjadi 17 April lalu.
Soalnya, ungkap Jhon Pieris kepada awak media di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/6), menggabungkan pilpres dengan pileg sangat banyak mudaratnya bila dibandingkan dengan manfaat yang didapat.
“Harus dilakukan evaluasi mendalam terkait pelaksanaan pemilu lalu yang menelan ratusan anggota KPPU meninggal dan ribuan harus mendapat perawatan di rumah sakit,” kata Jhon.
Jhon yang juga pakar Hukum Tata Negara itu menyebut pelaksanaan pemilu serentak lalu amburadul dan bahkan yang terburuk dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Beberapa catatan penting mengapa Jhon mengusulkan pemilu pilpres dan pileg harus dipisah pelaksanaan. Pertama, kesiapan kelembagaan kurang. Pemerintah tidak memprediksi apa yang akan terjadi.
“Kesiapan kelembagaan menurut saya itu nihil. Mencoba mencari bentuk yang baru tetapi mengatur strategi pemiu saja tidak mampu,” kata laki-laki berkulit hitam ini.
Kedua, yaitu dengan pilpres dan pileg serentak, politik nasional itu tercurahkan ke pilpres. Juru debat dan juru bicara capres lebih mengkampanyekan capres yang diusung dari partainya.
“Tetapi sesungguhnya mereka itu juga menjual diri mereka supaya orang kenal. Jadi lari dari substansi capres yang diinginkan seperti apa,” ungkap Jhon.
Ketiga, menurut Jhon Pieris, tidak ada debat caleg sama sekali. Sehingga orang membeli atau menjual kucing dalam karung.
Dia mencontohkan, ada 4 guru besar (profesor) dan 5 doktor anggota DPD yang kembali mencalonkan diritumbang semua karena tidak punya uang. Keempat profesor tersebut adalah Wakil Ketua DPD Darmayanti Lubis, Farouk Muhammad, Dailami Firdaus dan dirinya sendiri.
“Kita tidak mungkin memainkan budaya politik seperti itu, membeli suara dan sebagainya. Saya ditawari 3 orang yang meminta Rp100 juta dengan menjanjikan 10.000 suara. Saya tidak mau dan kalau pun saya ada uang saya tidak mau,” tegas Jhon.
Menurut guru besar hukum tata negara UKI itu, demokrasi telah dirusak dengan cara-cara politik uang yang menguntungkan dinasti politik dan yang yang pasti orang yang punya modal.
“Menguntungkan orang-orang yang memang bukan bidangnya di situ, mungkin dia artis, aktivis yang baru muncul lalu di becking dengan uangnya yang cukup banyak, itulah yang dipilih.”
Karena itu, tegas dia, ke depan pilpres dan pileg harus dipisahkan lagi. Dari segi hukum tata negara tidak ada masalah. Apalagi bangsa ini dalam transisi politik dan transisi demokrasi, wajar saja mencari bentuk itu tidak sempurna dan terus dievaluasi.
“Sebagai anggota DPD saya merasakan sekali di lapangan. Kita terkena dampak semuanya itu dan karena itu harus dipisahkan,” demikian Jhon Pieris. (akhir)