JAKARTA, Beritalima.com– Presiden Joko Widodo dalam keputusan dan kebijakannya belakangan ini banyak melakukan langkah blunder seperti dalam kasus Peraturan Presiden (Perpres) tentang Minuman Keras (Miras).
Dan, yang teranyar membiarkan Kongres Luar Biasa (KLB) ilegal Partai Demokrat di Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, akhir pekan lalu. Selain KLB itu membuat keramaian di tengah larangan pengumpulan dalam upaya Pemerintah menekan wabah pandemi virus Corona (Covid-19).
Anehnya lagi, KLB yang digelar orang-orang pecatan dan mereka yang sudah lama menanggalkan Kartu Tanda (KTA) Partai Demokrat tersebut memilih Ketua Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal Moeldoko sebagai Ketua Umum partai berlambang Bintang Mercy ini.
Hal itu, kata pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Rabu (10/3) seharusnya tidak boleh terjadi bila ring satu Presiden selektif terhadap semua hal yang keluar dari istana.
Mereka ini harus mempertimbangkan secara komprehensif dan integratif setiap kebijakan yang akan diambil Presiden Jokowi. Bahkan idealnya harus didukung kajian intelijen dan analisis situasi nasional dan global.
Hal yang sama juga berlaku pada pidato dan pernyataan presiden yang ditujukan untuk konsumsi publik. Semuanya harus disaring sehingga yang keluar dari presiden sangat terukur dan dampaknya sudah dapat diperhitungkan sebelumnya.
“Jadi, kalau Presiden melakukan blunder dalam kebijakan dan pernyataan, dapat diduga orang-orang di ring satu presiden bekerja tidak maksimal atau tidak menutup kemungkinan mereka memiliki agenda masing-masing,” kata Dekan Fikom IISIP 1996-1999 tersebut.
Dalam komunikasi politik, lanjut pengjar Isu dan Krisis Manajemen, Metode Penelitian Komunikasi dan Riset Kehumasan ini, blunder seperti itu tentu dapat menimbulkan ketidakpastian di masyarakat. Dalam setiap ketidakpastian bakal memunculkan kebingungan.
Dalam situasi demikian, jelas laki-laki yang akrab disapa Jamil ini, akan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada presiden. Padahal kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai prasyarat dipatuhinya suatu kebijakan dan diikutinya pernyataan pimpinan.
Kalau masyarakat sudah tidak percaya, dikhawatirkan kepatuhan masyarakat pada presiden akan turun drastis. Hal ini tentu sangat berbahaya manakala rakyat sudah tidak lagi mengikuti kebijakan dan pernyataan presidennya.
“Jadi, presiden harus mengevaluasi orang-orang di ring satunya, agar hal-hal blunder seperti itu tidak terulang sehingga kepercayaan rakyat kepada Pemerintahan Jokowi kembali naik seperti awal matan walikota Solo ini menjadi orang nomor satu di Indonesia,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)