JAKARTA, Beritalima.com– ‘Deal of the Century’ yang diajukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump tentang rencana perdamaian Timur Tengah tak bisa disebut sebagai proposal perdamaian, melainkan sebuah tindakan perampokan sistematis dari pemimpin negara adidaya tersebut.
“Yang diajukan Trump, adalah tawaran. Itu lebih upaya mengamankan kepentingan politik Israel di atas tanah Palestina. Karena itu, diperlukan soliditas parlemen negara muslim, untuk memprotes kebijakan tersebut,” kata Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon dalam pidatonya di The 3rd Conference of the League of Parliamentarians for Al-Quds di Kuala Lumpur, Malaysia akhir pekan ini.
Siaran pers Biro Humas dan Pemberitaan DPR RI yang diterima, Minggu (9/2), kegiatan ini dibuka Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad.
“Perdamaian di Timur Tengah tak bisa tercapai melalui kebijakan unilateral Di tengah upaya masyarakat dunia meredakan situasi di Timur Tengah, kehadiran ‘Deal of the Century’ Trump adalah ancaman serius buat proses perdamaian yang sudah diupayakan puluhan tahun.”
Dikatakan, yang diajukan Trump adalah kebijakan provokatif. Selain untuk mengamankan kepentingan politik Israel, itu banyak melanggar resolusi PBB, Madrid principles dan Quartet Road Map. “Saya lebih melihat proposal tersebut sebagai rencana pengkhianatan, perampokan dan tindakan ilegal, ketimbang mencari solusi adil buat Timur Tengah, khususnya Palestina,” kata anggota Komisi I DPR RI ini.
Penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel misalnya, kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu, selain menguntungkan Israel, juga melanggar resolusi 303 UN General Assembly 1949 yang menetapkan Yerusalem sebagai corpus separatum.
Dengan corpus separatum, Yerusalem berdasarkan hukum internasional ditempatkan sebagai wilayah terpisah yang berada di bawah pengawasan internasional sehingga, klaim sepihak Israel atas Yerusalem merupakan tindakan melawan hukum internasional.
Penetapan itu juga melanggar Resolusi 476 DK PBB 1980.
Resolusi itu tegas memerintahkan seluruh negara untuk memindahkan kantor kedutaannya dari Yerusalem, termasuk AS. Itu sebabnya, seluruh kedutaan besar negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel saat ini ada di Tel Aviv, bukan di Yerusalem.
Tak cukup dengan Yerusalem, melalui proposal itu, Trump juga mengakui kedaulatan Israel atas permukiman Tepi Barat. Bahkan, Israel diberikan hak istimewa untuk mempertahankan semua permukiman Israel di Tepi Barat seluas mungkin.
Padahal, status permukiman itu saat ini dinilai ilegal mayoritas komunitas internasional.
Dalam resolusi 242 PBB 1967 misalnya, PBB memerintahkan kepada Israel untuk mengembalikan wilayah yang direbut melalui perang, termasuk wilayah Tepi Barat dan juga Yerusalem.
Begitu juga Resolusi DK PBB No.2334 menyatakan tentang Permukiman Israel di Palestina Ilegal.
Di luar hak atas lahan, proposal Trump juga tidak mengakui Palestina sebagai negara independen. Pengakuan atas Palestina, baru akan diberikan dalam empat tahun ke depan.
Itu pun ketika Palestina dinilai telah memenuhi sejumlah persyaratan. Mulai dari komitmen penegakkan HAM hingga berhenti mendanai kelompok yang dituding AS sebagai teroris seperti Hamas.
Dengan struktur kebijakan demikian, tak heran jika masyarakat internasional memprotes semua rencana Trump yang tertuang dalam proposalnya.
Dalam pidatonya, Fadli menegaskan komitmen Indonesia menghadirkan kemerdekaan seutuhnya di Palestina. Sejumlah upaya kolaboratif yang melibatkan pemerintah, parlemen dan masyarakat telah dilakukan. Rumah Sakit Indonesia di Gaza misalnya, yang diresmikan 2015 merupakan tanda keseriusan Indonesia dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza. Begitu juga diangkatnya konsul kehormatan Indonesia untuk Palestina 2016 yang memberikan makna politik khusus bagi kemerdekaan Palestina.
Secara kelembagaan, Parlemen Indonesia selain aktif menyuarakan kemerdekaan Palestina di berbagai forum. Pada 2015 dan 2016 Indonesia menginisiasi lahirnya Deklarasi Palestina pada Asia Africa Conference dan menyelenggarakan Extraordinary Summit of OIC yang menghasilkan kesepakatan untuk menekan Israel agar menghormati wilayah dan kemerdekaan Palestina.
Upaya itu tentu tidak cukup. Diperlukan langkah kolaboratif dalam skala global, terutama yang dimotori parlemen negara-negara muslim, agar okupasi Israel di Palestina bisa segera berakhir.
Dalam forum ini Fadli juga menyampaikan seruan kepada seluruh anggota parlemen negara muslim dan dunia, untuk menekan Israel secara politik, ekonomi, sosial dan budaya agar tunduk kepada hukum dan norma internasional.
Sebab, solusi adil dan komprehensif untuk Palestina-Israel hanya dapat dicapai melalui kepatuhan terhadap resolusi internasional, sebagai kerangka acuan yang telah disepakati komunitas internasional.
Fadli juga menyampaikan rekonsiliasi dan persatuan Fatah dan Hamas merupakan faktor kunci memperoleh kemerdekaan Palestina seutuhnya. Baik untuk menghentikan krisis kemanusiaan di Gaza, maupun perlawanan terhadap proposal ‘Deal of the Century’ Trump.
Semua itu sangat membutuhkan konsolidasi antar faksi di Palestina, terutama Fatah dan Hamas.
Indonesia berharap Parliamentarians for Al-Quds dapat menjadi platform bersama yang konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Peran parlementer yang strategis bisa menjadi kekuatan pendorong bagi terwujudnya hak-hak masyarakat Palestina sesuai ketentuan hukum internasional.
Parlemantrians for Al-Quds merupakan wadah bersama bagi seluruh anggota parlemen dunia, yang didirikan 2015, untuk membela hak-hak asasi masyarakat Palestina dan menghentikan penjajahan Israel di tanah Palestina.
“Organisasi ini juga menjadi wadah bagi seluruh anggota parlemen dunia untuk saling berkoordinasi dan merespon segala bentuk krisis yang dialami Palestina,” demikian Fadli Zon. (akhir)