JAKARTA, Beritalima.com– Walau dikatakan bagian aspirasi publik tetapi ide penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode muncul dalam wacana amandemen UUD 1945 harus ditolak dari awal.
Wacana ini, kata Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Minggu (1/12), seperti membuka kotak pandora.
Soalnya, wacana itu bakal memicu diskursus lain yang substansial seperti pemilihan langsung atau oleh MPR, soal bentuk negara bahkan hal yang mendasar lain.
”
Prinsip dasar saat mendiskusikan kekuasaan dalam konteks demokrasi adalah ‘pembatasan’ dan ‘kontrol’, bukan malah melonggarkannya. Sebab, meminjam Lord Acton, kekuasaan itu cenderung menyeleweng. Dan kekuasaan yang absolut, kecenderungan menyelewengnya juga absolut,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu.
Dalam diskusi mengenai kekuasaan, ungkap wakil rakyat Dapil V Provinsi Jawa Barat ini, setiap orang bahkan harus dicurigai ‘jahat’ yang perlu dikontrol. Dan, ini berlaku juga bagi ‘orang besar’ atau ‘negarawan’.
Karena itu, kata dia, ide penambahan periode jabatan presiden ini tidak masuk kriteria untuk bisa didiskusikan lebih jauh. Ide itu bahkan harus segera didiskualifikasi dari perbincangan. Harus ditolak sejak awal.
Malah kini juga muncul usul amandemen total UUD 1945, termasuk Pembukaan. “Itu kan lontaran yang miskin wawasan. Wacana liar ini bisa menyasar ke urusan dasar negara dan bentuk kesatuan atau federasi.”
Batang tubuh UUD memang bisa diamandemen oleh MPR. Tapi kebebasan itu tidak berlaku bagi Pembukaan (Preambule). Pembukaan UUD 1945 memuat ‘staatidee’ berdirinya Republik Indonesia, memuat dasar-dasar filosofis serta dasar-dasar normatif yang mendasari UUD.
Karena itu, mengubah Pembukaan sama artinya dengan membubarkan negara Indonesia. Pembukaan ini seperti naskah Proklamasi, tidak bisa diubah. “Kecuali, kita memang ingin membubarkan negara ini dan mendirikan negara baru yang berbeda.
”
Jadi, meski kita punya kebebasan untuk mengeksplorasi gagasan, jelas Fadli, setiap gagasan yang dilontarkan tidak boleh ngawur. Pernyataan-semacam itu menjadi iklan yang buruk bagi rencana amandemen kelima UUD 1945.
“Publik bakal mempertanyakan kompetensi mereka yang akan melakukan amandemen.
Di tengah merosotnya indikator demokrasi dan kebebasan sipil di negara kita, setiap upaya yang bisa memberi jalan bagi kembalinya otoritarianisme harus kita tutup. Ide penambahan periode jabatan presiden adalah salah satunya.”
Dalam penelitian yang dipublikasikan University of Virginia School of Law baru-baru ini, ‘The Law and Politics of Presidential Term Limit Evasion’ dinyatakan, tidak kurang sepertiga presiden petahana yang sudah habis batas periode jabatannya berupaya mengubah konstitusi negaranya untuk tetap mempertahankan kursi kekuasaan.
Kecenderungan ini bukan hanya terjadi di negara-negara non-demokratik, tetapi terjadi juga di negara demokratik.
Studi itu juga menyebutkan lima strategi konstitusional yang kerap digunakan presiden petahana untuk tetap berkuasa.
Pertama, melalui amandemen konstitusi. Strategi ini paling banyak digunakan, yakni 67 persen. Kedua, melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang batasan masa jabatan (10 persen). Ketiga, membuat konstitusi baru (8 persen). Keempat, memanfaatkan ‘faithful-agent’, yakni suksesor yang berada di bawah kendali petahana (10 persen). Kelima, melalui strategi penundaan pelaksanaan pemilu (5 persen).
Jika merujuk kepada penelitian itu, dalam konteks Indonesia strategi yang bisa digunakan petahana untuk memperpanjang kekuasaannya adalah mengamandemen konstitusi. Sebab, petahana tak mungkin menggunakan strategi kedua, karena tahun lalu MK sudah menolak permohonan uji materi Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227 huruf (i) UU Pemilu tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Dengan adanya putusan itu, kata Fadli, penafsiran tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah jelas, yaitu hanya dua periode, sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945.
Memang, strategi ketiga, keempat dan kelima masih terbuka digunakan. Namun, sejauh ini wacana itu belum pernah muncul ke permukaan. Yang sudah muncul adalah dengan menunggangi agenda amandemen kelima UUD 1945.
Sejauh ini, kata anggota Komisi I DPR I itu, memang belum ada partai atau pejabat negara yang secara tegas mengusung wacana itu. Namun, ke depan, jika publik bersikap toleran, bukan tidak mungkin isu penambahan periode jabatan presiden ini akan terus digulirkan.
“Saya berharap publik mendiskualifikasi wacana ini dari perbincangan. Sebab, yang kita butuhkan saat ini ‘meremajakan kembali’ reformasi, bukan menarik mundur reformasi.
Jika wacana itu dibiarkan hidup, lanjut Fadli, dia khawatir harga politiknya sangat mahal. Dan, ini pernah terjadi di Paraguay 2018, Burkina Faso (2015) dan Malawi (2002). “Jadi, jangan beri rakyat wacana ngawur yang bisa memundurkan bahkan mematikan demokrasi.”
Lagi pula, kata Fadli, ide penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode akan membuka kotak pandora. Sebagian orang mungkin akan menuntut pembahasan ulang dasar negara, dan hal-hal tidak produktif yang akan menenggelamkan kita pada pertengkaran dan kehancuran.
“Saya berharap wacana tersebut tidak diteruskan. Pemerintah sebaiknya fokus benahi ekonomi untuk kesejahteraan rakyat yang lima tahun belakangan hidup morat marit,” demikian Fadli Zon. (akhir)