JAKARTA, Beritalima.com– Perlakuan represif serta kebijakan sangat tidak manusiawi yang dialami etnis minoritas Uighur di Xinjiang, China semakin terkuak dan sepertinya banyak negara di dunia sudah mulai muak dengan kesewenang-wenangan ini.
Juli lalu, lebih dari 20 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) termasuk Australia, Inggris, Kanada, Prancis serta Jerman mengirim surat kecamanan kepada para pejabat tinggi Dewan HAM PBB terkait perlakuan otoritas China terhadap etnis Uighur yang minoritas muslim di wilayah Xinjiang.
Awal Desember ini, Parlemen Amerika Serikat meloloskan RUU yang dapat memberikan Gedung Putih kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap China atas apa yang terjadi di Xinjiang.
Anggota DPD RI, Fahira Idris mengungkapkan, sikap tegas anggota PBB ini menjadi fakta yang tidak bisa diabaikan bahwa dugaan otoritas China menahan sedikitnya 1 juta etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya secara sewenang-wenang dan mengabaikan HAM, bukan isapan jempol.
Menurut senator dari Dapil Provinsi Jakata itu, sudah saatnya Indonesia bersuara, bukan karena hanya Indonesia negara muslim terbesar di dunia, tetapi karena nilai-nilai kemanusiaan etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya diduga kuat sedang dinjak-injak.
“Sampai kapan Indonesia terus diam soal Uighur sementara di belahan dunia kecaman terus mengalir. Ini bukan soal mencampuri urusan politik negara lain, tetapi ini soal kemanusiaan yang menembus dan melampui batas-batas negara,” kata Fahira yang juga aktivis kemanusiaan ini.
Bahkan harusnya, kata Fahira, melampaui kepentingan ekonomi Indonesia yang sudah menjadi rahasia umum salah satunya tergantung investasi China. Kita bangsa besar. Suara kita pasti di dengar. Persoalannya sekarang, Pemerintah berani, tidak?” tukas Fahira Idris melalui keterangan tertulisnya (16/12).
Menurut dia sejak bocornya dokumen penindasan etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya oleh Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi, gelombang protes dan kecaman terhadap dugaan pelanggaran HAM otoritas China terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya dipastikan semakin luas.
“Jika Indonesia masih terus diam, bukan tidak mungkin eksistensi Indonesia sebagai negara demokrasi dan berpenduduk muslim terbesar di dunia serta menjunjung tinggi penegakan HAM akan diabaikan bahkan dikucilkan komunitas internasional,”
Banyaknya investasi China di Indonesia harusnya dipandang sebagai ketergantungan China akan besarnya potensi ekonomi Indonesia, bukan sebaliknya yaitu ketergantungan Indonesia terhadap China.
Dengan begini, Indonesia tidak perlu ragu apalagi takut mendesak China menghentikan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukannya terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di Xinjiang.
Bahkan sebagai negara muslim yang moderat dengan berbagai pengalaman panjangnya, Indonesia harusnya bisa memberi pamahaman terkait Islam kepada China sehingga kebijakan mereka terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di Xinjiang tidak lagi bersifat represif.
“Indonesia dengan negara manapun yang berinvestasi di negeri ini, sebesar apapun investasi yang mereka gelontorkan, posisinya adalah setara. Kita tidak perlu ragu apalagi takut mengkritik bahkan mengecam negara tersebut jika memang kebijakan negaranya mengabaikan nilai-nilai HAM,” demikian Fahira Idris. (akhir)