Jalarta – Insiden pengusiran Direktur Utama PT Krakatau Steel, Silmy Karim saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, mendapat sorotan dari politisi Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah. Bahkan, Fahri mengatakan, rapat DPR RI dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), selain tidak ada dasar hukumnya, juga lebih banyak mudaratnya.
“Karena itu sebaiknya dihentikan, cukup Kementerian BUMN yang rapat dengan DPR RI sebagai kuasa pemegang saham. Selain itu,, terlalu banyak efek buruknya bagi DPR RI, dan terlebih lagi bagi BUMN,” kata Fahri Hamzah melalui akun Twitter-nya @Fahrihamzah, Selasa (15/2/2022).
Bila perlu, lanjut Fahri, BUMN harus didorong bekerja murni sebagai profesional. Jangan terlalu banyak politik yang bisa membuat wajah BUMN samar dan tidak jelas. Rapat pemegang saham dan pengawasan, menurut dia, cukup di komisaris saja dan (para direksi) tidak perlu datang ke DPR RI.
“Direksi BUMN adalah pejabat bisnis, bukan pejabat politik. Jadi, politisasi BUMN ini sudah terbukti jelek. Membiasakan mereka rapat di DPR RI, membuat mereka bermental politik. Inilah akar dari rusaknya professionalisme di BUMN. Mereka dipaksa melayani kepentingan politik eksekutif dan legislatif. Budaya korporasi rusak!’ sindir Fahri.
Bahkan Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 ini mengatakan menulis buku tentang BUMN dan dibagi gratis oleh Partai Gelora Indonesia. Intinya adalah adanya dilema antara ‘dikuasai negara’ dan ‘untuk kesejahteraan rakyat’.
“Salah satunya ya rapat di DPR RI itu. Dengan motif dikuasai, tapi negara sedang merusak kultur bisnis di BUMN,” sebut politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini yang juga melihat, ada kesalahan di hulu persoalan.
Mengapa? Karena, masih menurut Fahri, Undang-Undang (UU) ambigu dan membiarkan kontradiksi di UU tentang BUMN dan UU tentang PT, juga UU tentang Keuangan Negara. Harusnya diperjelas bahwa pengelolaan BUMN tunduk ke dalam rezim korporasi dan pertanggungjawaban pemegang saham di Kemen BUMN.
“Jadi, tidak fair membedah BUMN di depan umum oleh politisi sementara mereka punya pesaing yang selalu mengintip dapur mereka. Sementara itu, tidak jelas juga yang dibahas. Beda dengan rapat penyelidikan angket misalnya. Itu bebas. Jangankan BUMN, Presiden aja bisa dipanggil,” demikian Fahri Hamzah. (ar)