JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menilai, situasi politik saat ini masih dinamis dan bisa menciptakan kejutan-kejutan baru hingga 19 Oktober 2023 pada saat pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden dibuka.
Kejutan-kejutan tersebut, bisa mengubah peta politik mengenai keberadaan tiga calon presiden (capres) yang mengemuka saat ini, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan menjadi dua atau empat capres, serta bermunculannya figur-figur baru.
“Kita bersyukur sebenarnya dengan adanya tripolar (tiga capres, red) akan menciptakan kelompok-kelompok yang lebih rasional. Tidak seperti dulu, terlalu berhadap-hadapan antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Tetapi, situasinya masih dinamis, masih akan ada kejutan-kejutan baru,” kata Fahri Hamzah, Rabu (27/9/2023).
Hal itu disampaikan Fahri Hamzah saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talks bertajuk “Menanti Kejutan Baru Koalisi Capres 2024” yang ditayangkan di kanal YouTube Gelora TV.
Fahri berharap masyarakat bisa belajar dalam mengelola situasi politik sekarang agar tidak berujung pada konflik yang terjadi di masyarakat seperti pada pemilihan presiden (pilpres) sebelumnya.
Sebab, sikap irasionalitas dapat membuat kita kurang berpikir soal-soal yang ideal bagi bangsa ke depan, karena terlalu mengutamakan sentimen yang sebenarnya bisa dibahas dan diskusikan.
“Apapun hasilnya nanti, masyarakat kita harus lebih moderat dan lebih proporsional. Sehingga pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang berlangsung pada hari yang sama ini akan berjalan dengan sangat baik dan tidak ada potensi yang membahayakan kita,” katanya.
Menurut Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini, semua pihak harus berpikir untuk mengedepankan kepentingan nasional, sehingga pemilu tetap damai dan aman, serta tidak ada pembelahan di masyarakat.
“Kenapa Partai Gelora mendukung Pak Prabowo (Prabowo Subianto), karena kita ingin ada keberlanjutan agenda nasional. Yaitu, ada rekonsiliasi di satu sisi dan di sisi yang lain ada legacy-nya Pak Jokowi (Joko Widodo) yang harus diteruskan,” katanya.
“Karena apa yang dilakukan oleh Pak Jokowi seperti pembangunan IKN dan Kereta Cepat itu nggak bisa dibatalkan. Terlalu besar efeknya jika dibatalkan, biayanya juga terlalu besar buat rakyat yang sudah menginvestasikan ratusan triliun, itu mau dihentikan gara-gara beda pilihan politik. Karena itulah, kenapa kita mendukung Pak Prabowo dan kita doakan bersama-sama agar menang,” pungkas Fahri.
*Pilihan Tepat*
Sementara itu, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mengatakan, rekonsiliasi dan legacy telah menjadi brand Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Hal itu membuat elektabilitas Prabowo relatif stabil dan tinggi, dibandingkan Ganjar dan Anies Baswedan.
“Posisi Pak Prabowo per hari ini, relatif stabil ya karena faktor rekonsiliasi dan legacy itu. Pak Prabowo dianggap pemersatu dan melanjutkan legacy Pak Jokowi. Jadi rekonsiliasi dan legacy itu sudah jadi brand Pak Prabowo,” kata Hanta Yudha.
Karena itu, jika Pilpres 2024 diikuti tiga pasangan calon, maka Prabowo dan Ganjar Pranowo akan masuk putaran kedua, sedangkan Anies Baswedan tidak memiliki potensi menang.
“Tetapi kalau dua poros, dari survei yang kita lakukan antara Ganjar dan Prabowo, masih unggul Prabowo sekitar 10-7 persen,” katanya.
Hatta mengungkapkan, elektabilitas Anies Baswedan masih relatif jauh, meski telah berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB sebagai cawapresnya. “Ada kenaikan, tetapi tidak terlalu signifikan,” katanya.
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia ini melihat Presiden Jokowi terkesan main di dua kaki, yakni mendukung Ganjar dan Prabowo. Justru hal ini menguntungkan Prabowo, karena tidak totalitas mendukung Ganjar yang notabene partainya, PDIP.
Disamping itu, Jokowi sering memperlihatkan kedekatannya dengan Prabowo ke publik. “Kondisi hari ini kakinya setengah-setengah, ada di Ganjar dan Prabowo. Nah, seperempat lagi ada di Kaesang (Kaesang Pangarep) dan Gibran (Gibran Rakabumi Raka). Kalau PSI sudah dukung Prabowo, dan Gibran jadi wakilnya Prabowo. Itu sudah 100 persen tubuh Pak Jokowi ada di Prabowo,” jelasnya.
PDIP sendiri, lanjut Hanta, tidak berani bersikap tegas terhadap sikap Kaesang yang menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), karena PDIP ingin mempersepsikan dekat dengan Presiden Jokowi.
Sebab, kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi mencapai 70-80 persen, menang dua kali Pilpres, memiliki relawan yang solid dan mesin politik tetap terjaga, serta masih mengendalikan jejaring Pemilu, karena masih berkuasa.
“Saya kira Partai Gelora sudah bener gabung ke Prabowo, bukan semata tidak bersama PKS atau Ganjar. Tetapi itu pilihan cepat dan tepat, brand conectionnya semakin bagus karena sudah memperhitungkan kemenangan. Saya yakin Gelora akan dapat cocktail efek dari Prabowo. Ini menarik kalau Gelora masuk pemerintahan, sementara PKS jadi oposisi,” katanya.
Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia Dedek Prayudi menambahkan, bergabungnya putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangerap ke PSI, karena memiliki kesamaan visi terhadap kiprah anak-anak muda, yang seharusnya tidak menjadi objek politik.
“Bro Kaesang persamaan nilai, bahwa anak-anak muda itu enggak hanya boleh menjadi objek politik. Hal ini sudah diperjuangkan PSI sejak 2019, dan kami ingin membuka kesempatan anak muda untuk ikut mewarni hiruk pikuknya politik,” kata Dedek Prayudi.
Sebagai Ketua PSI, Kaesang Pangarep kata Dedek, juga tidak memanfatkan jabatan orang tuanya selaku Presiden RI dalam politik maupun bisnis. Sebaliknya, Kaesang justru mengagumi Jokowi, karena memberikan inspirasi dirinya dalam berpolitik.
“Karena ketika Kopdar kemarin di Djakarta Teater saat penunjukkan Bro Kaesang menjadi Ketua Umum PSI yang hadir membludak, ya itulah realitas politiknya,” katanya.
Namun, hingga kini PSI belum menentukan dukungan politiknya kepada capres tertentu, meski kerap hadir dalam deklarasi dukungan partai Koalisi Indonesia Maju ke Prabowo.
“Kami memang memiliki ikatan emosional dengan Prabowo, tetapi kita belum menentukan pilihan. Kita masih menunggu arahan, tapi ada tiga yang kita lakukan, yaitu mendukung Prabowo, mendukung Ganjar atau jombloh. Kalau kita hadir di Prabowo karena diundang terus, kalau sama Ganjar kita tidak pernah diundang, malahan PSI diserang sama pendukungnya. PSI itu dianggap kompetitor, padahal bukan kompetitor, apalagi sampai menggembosi partai tertentu,” tegasnya. (ar)