JAKARTA, Beritalima.com– Sosok pimpinan MPR RI 2019–2024 harusnya mereka yang bisa menjalankan visi besar negara sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Sebab, MPR RI adalah lembaga terhormat yang memposisikan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan politik.
Hal itu dikatakan Ketua Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) MPR RI, Fary Djemi Francis dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Musyawarah Mufakat untuk Pimpinan MPR’ di Press Room Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/7).
Selain Fary, juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi kali ini politisi senior Hendrawan Supratikno, Ahmad Baidowi dan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno.
Dikatakan wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, tidak penting siapa dan dari partai mana sosok itu datang. Yang pasti, pimpinan MPR mendatang harus seorang negarawan. Selain itu, yang bersangkutan juga mempunyai visi besar dalam bernegara dan ini juga harus berjalan sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa.
Anggota Komisi V DPR RI berpendapat, kurang etis bila berbicara bagi-bagi kursi pimpinan MPR. Sebab, MPR adalah lembaga terhormat. MPR adalah lembaga yang menjaga marwah negara yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Beda dengan DPR RI. Bagi saya, kurang etis berbicara bagi-bagi kursi pimpinan MPR. MPR tidak boleh berdiri hanya untuk satu golongan saja tapi harus menaungi semua unsur masyarakat,” jelas laki-laki kelahiran
Watampone, NTT, 7 Pebruari 1968 tersebut.
Menurut Fary Djemi, kontestasi Pilpres 2019 menawarkan gagasan baik dari calon presiden Jokowi dan Prabowo Subianto. Karena itu, gagasan dan pemikiran keduanya jangan dipertentangan tetapi dikolaborasikan untuk kepentingan bangsa dan negara.
“Alangkah lebih baik bila pemikiran Pak Jokowi tertuang di pemerintah, sementara pemikiran Pak Prabowo terjewantahkan di parlemen, dalam hal ini MPR,” ungkap Fary yang terpilih menjadi salah satu legislator berdedikasi 2018.
Ditambahkan, makna dari rekonsiliasi itu bukanlah soal bagi-bagi kursi. Tetapi bagaimana caranya mengkolaborasi gagasan dan pemikiran dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang kemarin berkompetisi menjadi satu kekuatan, demi masa depan bangsa Indonesia.
Dikatakan, ke depan MPR sangat strategis untuk melihat persoalan bangsa akibat dari kontestasi Pilpres 2019 yang membuat masyarakat terbelah. “Saat ini kita membutuhkan pimpinan MPR yang menyatukan lembali anak bangsa, menyatukan program strategis Jokowi dan Pak Prabowo,” tambah dia.
Tidak jauh berbeda, politisi senior Hendrawan Supratikno juga meminta fraksi-fraksi di MPR mulai mewacanakan gagasan, konsep besar, yang akan dilakukan dan program strategis yang dikerjakan bila terpilih sebagai pimpinan MPR. “Dalam isu pimpinan MPR ke depan, pihaknya lebih mengedepankan program strategis untuk MPR 2019 – 2024.”
Hendrawan juga mendorong semua fraksi menyodorkan nama sesuai kriteria dan rekam jejak yang baik untuk pimpinan MPR mendatang agar mempermudah komunikasi politik. “Pimpinan MPR harus orang yang memahami konstitusi, sejarah evolusi dan ruh marwah Pancasila,” tutur wakil rakyat dari Dapil Provinsi Jawa Tengah ini.
Hendrawan menyebutkan tiga kemungkinan dalam konstelasi pemilihan pimpinan MPR. Pertama, pimpinan MPR akan dipilih secara aklamasi atau musyawarah dan mufakat.
Namun, untuk mencapai aklamasi tergantung pada figur ketua MPR. Dia mencontohkan figur Taufiq Kiemas yang terpilih sebagai Ketua MPR secara aklamasi 2009.
“Apakah kita punya figur seperti Taufiq Kiemas yang menjadi jembatan kebangsaan? Dilihat dari nama-nama yang beredar, sepertinya agak sulit untuk dilakukan secara aklamasi,” kata Hendrawan.
Kedua, pemilihan pimpinan MPR dengan tiga paket. Dilihat dari jumlah fraksi dan kelompok DPD, kata Hendrawan, bisa muncul tiga paket pimpinan. Setiap paket pimpinan itu ada dua orang wakil dari DPD dan tiga orang dari parpol. “Tiga paket ini kemudian dipilih anggota MPR.”
Ketiga, paket tengah. Menurut Hendrawan, paket tengah ini disusun parpol dengan prediktabilitas (kemungkinan) kemenangan yang jelas. Paket ini bisa diajukan urutan pertama sampai tiga pemenang pemilu, satu partai menengah dan ditambah DPD.
Sementara itu Ahmad Baidowi menyebutkan terbuka peluang pimpinan MPR dipilih secara aklamasi. Dalam hal ini DPD memainkan peran. Jika sulit mencari ketua MPR dari partai politik, maka pilihannya Ketua MPR dari DPD. “Jumlah kursi DPD 136 memiliki kekuatan tersendiri. Jumlah ini lebih besar dari anggota masing-masing fraksi partai politik yang ada di MPR.”
Kemungkinan tersebut, kata dia, bisa terjadi. Namun, dari pengalaman dalam pemilihan pimpinan MPR, komposisi yang menempatkan anggota DPD sebagai ketua MPR belum pernah berhasil. (akhir)