Beritalima.com – Pada tahun 2000 an muncul istilah politik pencitraan. Gaya politik pencitraan memang sangat menonjolkan “tampilan luar”, yaitu gaya berpidato, ekspresi emosional, pandai bersandiwara, dan pintar membeberkan angka-angka fantastis. Ketika sedang berpidato di depan publik, maka penampilannya akan seperti pemain sinetron yang pintar mengundang air mata penonton, ataupun “tukang jual obat” yang pintar menipu calon pembeli.
Setelah itu muncul istilah politik Dagang Sapi. Politik Dagang Sapi dapat diartikan sebagai bentuk pemufakatan politik diantara partai, bisa juga dilakukan oleh sebuah partai dengan pihak-pihak tertentu melakukan tawar-menawar atau konsensi-konsensi lainnya untuk memenuhi keinginan masing-masing pihak yang terlibat didalamnya.
Selanjutnya muncul istilah Politik identitas. Politik Identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain.
Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyarakat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.
Ramlan Surbakti sendiri mengajukan enam (6) pendekatan untuk memahami arti politik. Pertama, Pendekatan kekuasaan. Menurut pendekatan ini, yang dimaksud politik adalah cara-cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaaan. Dalam pendekatan ini politik biasa dipersepsikan sebagai sesuatu yang kotor. Dikatakn sesuatu yang kotor karena usaha untuk memperoleh dan mempertahankannya sering dilaksanakan dengan cara-cara yang illegal dan amoral.
Kedua, Pendekatan institusional. Menurut pendekatan institusional, politik adalah Negara dengan institusi-institusinya. Jadi yang dipelajari tentang politik adalah mengenai tugas dan kewenangan atau apa yang harus dilakukan oleh lembaga-lembaga Negara. Ketiga, Pendekatan moral, pendekatan ini memandang bahwa politik bukanlah sesuatu yang kotor melainkan sesuatu yang mulia. Dikatakan politik sebagai sesuatu yang mulia, karena politik merupakan suatu kegiatan untuk mendiskusikan dan merumuskan “good society” atau “the best regime”.
Keempat, pendekatan konflik, yang dimaksud politik menurut pendekatan ini adalah kegiatan untuk memperoleh dan mempertahankan kepentingan. Kepentingan yang dimaksud mencakup kepentingan material maupun non material. Kelima, pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini politik adalah kegiatan yang menyangkut alokasi nilai-nilai kepentingan yang dirumuskan dalam kebijaksanaan public. Dan pendekatan yang keenam adalah pendekatan analisis wacana politik.Politik menurut pendekatan ini adalah kegiatan mendiskusikan atau mendefinisikan situasi dari suatu fenomena politik.
Menjelang Pilpres bulan April 2019 yang lalu, arti politik telah bergeser menjadi fenomena politik entertainment. Kita tidak bisa membedakan mana politikus sejati dengan selebritas. Aksi panggung, atau debat kandidat yang disiarkan di sebuah stasiun televisi tak ubahnya seperti hiburan saja. Diselingi dengan musik dan sorak-sorai, atau yel-yel para pendukung. Di mana berita politik lebih menyuguhkan kontroversial daripada berita para selebritas. Seperti sinetron, ada kisah dan skenario tiap hari yang dipertontonkan. Lantas masyarakat dapat saja berimajinasi dan penasaran kisah dan skenario apa lagi selanjutnya.
Fenomena politik entertainment secara tak sadar dapat membunuh akal sehat publik. Bagaimana tidak, publik diajarkan untuk menolak argumen pihak lawan dengan cara apapun.
Selagi masih bisa berpikir kritis serta selektif, mari kita warnai demokrasi dengan menjual gagasan kepada publik, menjual program kerja nyata yang bisa menjawab keresahan masyarakat. Dengan demikian wajah panggung politik Indonesia menjadi lebih berwarna menuju panggung yang sinergis dan konstruktif. Fenomena politik pencitraan, dagang sapi, politik identitas dan entertainment jangan sampai merasuki Pilkada serentak 2020 nanti. Bagaimana pendapat Anda?
Surabaya, 8 Oktober 2019
Cak Deky