JAKARTA, Beritalima.com– Tim Kampanye Pemenangan Nasional (KPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiano Salahudin Uno (Prabowo-Sandi), Ferry Mursyidan Baldan mengibaratkan perkembangan teknologi informasi dalam dunia politik seperti dua sisi mata uang atau Dewa Janus.
“Digitalisasi politik menghadirkan manfaat besar dalam mengoptimalkan beberapa tahapan dalam pemilu. Namun, jika keliru dalam menggunakan tools digital, bakal membuat proses politik berpotensi menjadi ruang konflik antara peserta pemilu dan peserta pemilu dengan penyelenggara,” kata Ferry.
Hal tersebut dikatakan Ferry ketika tampil sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk Signifikansi Digitalisasi Politik dalam Pemilu 2019 di Universitas Jember, Malang, Jawa Timur, akhir pekan lalu.
Ferry yang juga sempat dipercaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Menteri Agraria, Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) itu mencontohkan, digitalisasi politik dalam tahapan kampanye dan kontrol penghitungan suara akan menambah kualitas sebuah pemilu.
Sayangnya, ungkap Ferry, hal penting atau krusial yang belum diterapkan digitalisasi dalam Pemilu 2019 adalah proses pemungutan suara (e-voting) di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Dikatakan, validitas Daftar Pemilih Tetap (DPT) belum berbasis Data Penduduk sebagaimana dimaksud Sistem Administrasi kependudukan berdasar Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Sementara dalam konteks penggalangan dan media interaksi dalam pemilu, digitalisasi politik justru berpotensi membuat masalah baru dalam proses politik,” kata laki-laki kelahiran Jakarta, 16 Juni 1961 tersebut.
Dalam konteks kampanye, kata Ferry, digitalisasi politik juga menjadi tools yang sangat memudahkan. “Bahkan mengefektifkan kegiatan kampanye peserta pemilu dalam menyebar visi, misi dan komitmen yang menjadi kepeduliannya dalam jangkauan yang luas.”
Ditekankan, digitalisasi dalam proses politik juga cenderung mengabaikan proses interaksi dan relasi sosial peserta pemilu. Mereka cenderung bertindak pragmatis dan instan.
“Yang sering terlupakan bahwa kampanye adalah kemampuan dalam mempengaruhi pemilih dalam sebuah interaksi peserta pemilu dengan masyarakat,” ujar Ferry.
Keharusan punya social capital, sambung Ferry, dilupakan dan cenderung mewajibkan dirinya memiliki financial capital. “Pada gilirannya hal ini akan membentuk pola hubungan yang transaksional dalam menjalankan tugas kenegaraan,” demikian Ferry Mursyidan Baldan. (akhir)