JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti saat menjadi pembicara pada Forum Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden Sebagai Peneguhan Kedaulatan Rakyat dan Penguatan Sistem Presidensiil” di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya kembali menyampaikan pentingnya melakukan amandemen kelima UUD 1945.
Dia mengungkapkan alasan DPD RI mewacanakan dilakukan amandemen konstitusi sebagai koreksi atas amandemen sebelumnya karena banyak . frasa kalimat dan norma yang harus dikoreksi dari amandemen konstitusi 2002.
Akibat amandemen itu, lahirlah sejumlah undang-undang yang merugikan bangsa. Salah satunya, UU No: 7/2017 tentang Pemilu, yang mengatur soal Presidential Threshold (PT) yang dianggap mengebiri kedaulatan rakyat, dengan membatasi calon pemimpin terbaik untuk mendapat hak yang sama, bisa tampil di pemilihan umum.
UU tentang Pemilu di Pasal 222 yang memberi ambang batas 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara partai politik secara nasional, sama sekali tidak derivatif dari pasal 6A UUD hasil Amandemen 2002. “Karena Pasal 6A Ayat (3) dan (4), mengatur Ambang Batas keterpilihan. Bukan pencalonan. Tetapi faktanya, oleh Mahkamah Konstitusi hal itu dianggap Open Legal Policy pembuat undang-undang,” ungkap LaNyalla.
Menurut dia, DPD RI memperjuangkan amandemen kelima agar dilakukan koreksi dengan memberi frasa lebih kuat tentang tidak adanya ambang batas pencalonan.
Setiap partai politik atau gabungan partai politik punya hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa batas minimal perolehan suara.
“DPD RI membutuhkan rekomendasi dan latar belakang pemikiran, perlunya memberi frasa lebih jelas dan kuat terhadap hal itu.”
LaNyalla mempersoalkan bunyi Pasal 222 UU Pemilu di mana terdapat kalimat ‘pada Pemilu anggota DPR sebelumnya’ terkait kepesertaan pada Pemilihan Umum. Poin itu juga dianggap tidak derivatif dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD ‘45.
Pasal 6A Ayat (2) menyebutkan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’.
Menurut para pelaku Amendemen, kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’ normanya adalah partai politik peserta pemilu saat itu mendaftarkan nama capres dan cawapres sebelum Pilpres.
“Makna dan hermeneutika kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’ sangat berbeda dengan kalimat ‘pada Pemilu anggota DPR sebelumnya,” kata LaNyalla.
Atas dasar hal itu, LaNyalla menilai, menjadi sangat tak logis pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 diajukan partai politik peserta pemilu di 2014. Begitu juga dengan Pilpres 2024 diajukan partai politik peserta pemilu tahun 2019.
Namun, oleh MK, menurut LaNyalla, lagi-lagi hal itu dianggap Open Legal Policy sehingga upaya Judicial Review Pasal 222 UU Pemilu mengalami kegagalan.
“Padahal kalimat ‘pada Pemilu anggota DPR sebelumnya’ telah menjadi penghalang bagi partai politik baru peserta pemilu 2024 untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sementara konstitusi menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik,” papar dia.
LaNyalla menilai UU Pemilu, khususnya Pasal 222 dapat disimpulkan sebagai disain besar dari oligarki untuk menguasai negara secara keseluruhan. Buntutnya, negara mengabdi pada tujuan oligarki untuk memperkuat akumulasi kekayaannya.
Bahkan kalau perlu, negara harus menjadi pelayan bagi kaum oligarki.
“Saya mencatat setidaknya ada 4 dampak negatif yang terjadi di negara ini akibat adanya Presidential Threshold yang diatur di UU Pemilu itu.
Hanya muncul dua pasangan calon yang head to head meski di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam prakteknya.
Itu Hal terbukti karena dua kali terdahulu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon.
Konsekuensinya, terjadinya pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput yang masih dirasakan hingga detik ini. Menurut dia, keadaan itu sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini.
(akhir)