FGD Muhammadiyah Yogyakarta, LaNyala: PT Kebiri Kedaulatan Rakyat

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, keberadaan Presidential Threshold (PT) telah mengkebiri apa yang menjadi kedaultan rakyat. “Karena itu, penting dilakukan amandemen kelima UUD 1945,” ungkap LaNyalla ketika menjadi pembicara kunci (keynote speaker) di depan peserta Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Presidential Threshold: Antara Manfaat dan Mudarat’ yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (5/6).

Menurut LaNyalla, perjalanan amandemen pertama hingga keempat yang terjadi 1999-2002, berbuntut negatif terhadap kedaulatan rakyat. Karena itu, LaNyalla menggulirkan wacana amandemen kelima, momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan Bangsa.

“Kita harus dorong MPR RI untuk bersidang dengan agenda Amandemen, tetapi dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi dan perbaikan atas amandemen terdahulu,” tutur LaNyalla dalam keterangan pers yang diterima awak media, Sabtu (5/6) petang.

Menurutdia, banyak frasa kalimat dan norma yang harus dikoreksi dari hasil amandemen konstitusi terakhir. Sebab, akibat amandemen itu, lahir sejumlah UU yang merugikan bangsa. Salah satunya, UU No: 7/2017 tentang Pemilu, yang mengatur soal ambang batas calon presiden-wakil presiden (Presidential Threshold/PT). Dinilai, aturan itu mengebiri kedaulatan rakyat, dengan membatasi calon-calon pemimpin terbaik guna mendapat hak yang sama untuk tampil di pemilihan umum.

LaNyalla memaparkan argumentasi terkait hal itu. “UUD hasil Amandemen di Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan UU,” ungkap senator dari Dapil Provinsi Jawa Timur tersebut.

Kemudian Pasal 6A Ayat (2) menyebutkan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik/gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. “Nah, perintah membuat syarat melalui UU di Pasal 6 Ayat (2) dan Frasa kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilu’ yang tertuang di Pasal 6A ayat (2) menyebabkan lahirnya UU tentang Pemilu. “UU itu memberi syarat PT dan memberikan kewenangan kepada parpol peserta pemilu sebelumnya untuk mengajukan capres-cawapres,” papar dia.

Padahal menurut para pelaku Amandemen, kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’ hasil Amandemen itu normanya adalah parpol peserta pemilu saat itu. Artinya, parpol telah lulus verifikasi selaku peserta pemilu ketika itu.

Disebutkan juga, frasa kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilu’ bermakna pasangan capres-cawapres sudah diajukan partai politik sebelum pilpres dilaksanakan. Karena pilpres dilaksanakan melalui pemilu, diamandemen dituliskan dengan frasa itu.

“Dan, frasa itu juga mengandung norma, Pileg dan Pilpres tidak dilakukan serentak. Kalau dilakukan serentak, tetap saja, pengajuan nama capres dan cawapres dilakukan parpol peserta pemilu tahun itu juga parpol yang sudah dinyatakan lulus verifikasi oleh KPU, bukan parpol periode Pemilu sebelumnya, atau parpol lima tahun sebelumnya.”

Atas dasar hal itu, LaNyalla mengatakan, menjadi tidak logis bila pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 diajukan parpol peserta pemilu 2014. Begitu juga dengan Pilpres di 2024. Akan menjadi tidak logis bila pasangan capres-cawapres diajukan parpol peserta pemilu 2019. “Pertanyaannya bagaimana dengan parpol 2019, yang sudah tidak berada di parlemen? Atau seandainya ada parpol yang sudah bubar. Berarti bisa mengusung capres-cawapres,” ujar LaNyalla.

Sebaliknya, bagaimana dengan partai baru yang lahir dan lulus verikasi sebagai peserta pemilu 2024 nanti? Tentu tidak bisa mengusung capres dan cawapres. Padahal dikatakan capres dan cawapres diajukan atau diusung parpol atau gabungan parpol peserta pemilu,” tambah LaNyalla.

Produk UU Pemilu mensyaratkan pasangan calon di Pilpres diusulkan parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Aturan itu tertuang dalam pasal 222. “Padahal di Pasal 6A Ayat (2) UUD hasil Amandemen, kalimatnya adalah ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’, bukan ‘Pemilu anggota DPR sebelumnya’ karena dua kalimat itu jelas berbeda artinya,” ucap dia.

LaNyalla mempersoalkan penambahan substansi syarat perolehan suara sah partai politik untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres. Aturan itu didalilkan atas perintah UUD hasil Amandemen pasal 6 Ayat (2) yang menyebutkan ‘syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan UU’.

“Ini yang menyebabkan kedaulatan rakyat dikebiri, dengan membatasi calon pemimpin terbaik untuk mendapat hak yang sama bisa tampil di gelanggang,” ujar LaNyalla.

Tidak hanya itu, LaNyalla menilai PT memiliki dampak negatif lainnya di tengah-tengah masyarakat. Terbukti saat Pilpres 2019 muncul dua kubu yang menimbulkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput pasangan calon. “Polarisasi tak kunjung mereda, meski elit telah rekonsiliasi. Akibatnya, dengung kebencian merajalela. Dan itu masih kita rasakan hingga detik ini.”

Amandemen juga menyebabkan calon presiden dan calon wakil presiden non-partisan tidak bisa berlaga di Pilpres. Setelah dihapunya utusan golongan dan diubahnya utusan daerah menjadi DPD RI sehingga hanya perwakilan dari parpol yang bisa mengusung calon.

“Padahal DPD ini jelmaan dari utusan daerah. Tapi kewenangannya untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden dihilangkan, dan ini merugikan putra putri terbaik bangsa dari luar parpol untuk maju sebagai calon di Pilpres. Ini yang kami perjuangkan, agar DPD RI bisa menjadi sarana bagi calon non-partisan maju sebagai capres maupun cawapres.”

FGD dilaksanakan secara offline dan online via zoom, dihadiri Rektor UMY, Dr Ir Gunawan Budiyanto. Hadir sebagai pembicara Zainal Arifin Mochtar (Guru Besar Hukum Tata Negara UGM), Ridho Al-Hamdi (dosen ilmu pemerintahan UMY) dan Iwan Satriawan (dosen fakultas hukum UMY). (akhir)

 

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait