Yogyakarta, beritalima.com| – Selama ini, fikih difabel sering diposisikan sebatas “penerima keringanan hukum” (ruksah). Difabel ditempatkan di luar norma tubuh ideal, seakan pengalaman mereka hanyalah pengecualian dari hukum yang berlaku.
Pandangan tersebut muncul karena kesan yang menilai difabel sebagai ketidaksempurnaan. Pertanyaan kritis pun muncul, apakah fikih yang seharusnya menjadi jalan keadilan justru memperkuat diskriminasi?
Dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang digelar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta (11/12), suara kritis bergema. Rof’ah, Ketua Divisi Keluarga Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menyatakan fikih tidak boleh berhenti sebagai produk hukum statis.
“Paradigma fikih tradisional difabel sarat dengan ruksah, beroperasi atas dasar penyelesaian individu,” ujarnya. Kritik ini menohok fikih yang hanya memberi keringanan tanpa mengubah sistem, berisiko melanggengkan ketidakadilan.
Faqihuddin Abdul Kodir dari Yayasan Fahmina menawarkan solusi Fiqh al-Murūnah. Konsep ini menggeser fikih dari sekadar keringanan menuju pengakuan pengalaman difabel sebagai sumber hukum.
Dengan demikian, pengalaman hidup difabel memperoleh legitimasi teologis yang setara. Fikih bukan lagi sekadar “penawar” bagi individu, melainkan alat advokasi untuk perubahan sistemik.
Gerakan ini menempatkan difabel bukan sebagai objek belas kasihan, melainkan subjek pengetahuan. NU dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar, saling melengkapi dalam memperkuat fikih difabel.
Muhammadiyah dengan pendekatan Maqāşidī-Ta’şīlī memberi landasan teoritis yang kokoh, sementara NU dengan Rukhsahi-Tatbiqi menghadirkan respons kontekstual di lapangan. Keduanya membuka ruang bagi pengalaman difabel sebagai bagian integral dari hukum Islam.
Fiqih al-Murūnah bukan sekadar sekedar akademik, melainkan gerakan moral yang menuntut keadilan. Jika konsisten dijalankan, ia mampu merevolusi cara umat Islam memahami hukum dari bias tubuh ideal menuju pengakuan atas keberagaman manusia.
Harapan besar pun lahir, dimana fikih difabel akan menjadi tonggak inklusi, bukan sekadar catatan pinggir dalam sejarah hukum Islam.
Jurnalis: abdul hadi (difabel netra)&abri








