Jakarta — Anggota MPR yang juga salah satu anggota DPR yang ikut menyusun Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) Firman Subagyo mengatakan DPR, pemerintah dan masyarakat harus menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU Ciptaker.
”Kita harus menghormati dan menjalankan apa yang telah diputuskan MK soal UU Ciptaker ini, ”kata Firman Subagyo dalam diskusi Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK bersama Wakil Ketua MPR Arsul Sani dan Pakar Hukum Juanda, di Media Center DPR, Senin (28/11/2021).,
Namun begitu, politisi Golkar ini mengatakan tidak boleh ada tafsir lain Atas putusan MK itu. ”Saya melihat kok banyak tafsir lain atas putusan MK itu, ”katanya.
Dalam putusan Mkk disebutman bahwa amar keputusan nomor 4, menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).
Masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan.
Dari putusan itu, lanjut Firman Subagyo, bahwa UU ciptaker masih berlaku hingga dua tahun ke depan sampai DPR dan Pemerintah melakukan revisi prosedurnya.
Apalagi, lanjut Firman, tidak ada satupun pasal di UU Ciptake itu yang dibatalkan oleh MK. Menurutnya, MK hanya mempermasalahkan soal prosedur pembentukan UU Ciptaker iti saja.
MK hanya menyebutkan bahwa UU Cipta kerja ini dianggap inkonstitusional, karena prosedurnya yang menyalahi aturan. Tapi tidakenyebutkan apalagi membatalkan pasal pasal dalam UU tersebut.
Sementara itu Wakil Ketua MPR Arsul Sani menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Omnibuslaw berpotensi menimbulkan masalah. Pasalnya MK hanya memutuskan soal uji formil saja. Sementara uji materinya tidak disinggung.
”Putusan MK itu bukan menyelesaikan masalah tapi malah berpotensi menimbulkan masalah, ”kata Arsul Sani .
Awalnya Arsul berharap putusan MK itu dapat menyelesaikan masalah tanpa masalah seperti semboyan Pegadaian. Karena UU Ciptaker ini memang banyak yang menilai membingungkan dan inkonstitusional.
Menurut politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini yang diputus uji formilnya dan disebut sebagai inkonstitusioanal bersyarat. Artinya pembentuk undang-undang harus memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang. Bukan materinya namun prosedur pembentukan undang-undangnya supaya memenuhi syarat formil.
Sementara syarat formil tidak ada dalam UU no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan serta UU perubahan no 15 tahun 2019.
Jadi, menurut Arsul, putusan ini berpotensi bermasalah.
Karena, lanjut Arsul, kalau pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah memperbaiki, kemudian hasil perbaikannya itu secara materil ada elemen masyarakat yang tidak puas, ini bakal di uji lagi secara material.
”Nanti jangan-jangan formilnya sudah benar, kemudian materinya diuji dikabulkan. Artinya putusan itu sebagai sebuah keputusan atau tidak mengikuti prinsip menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah,’ktatanya. .
Mestinya menurut Arsul, MK memutuskannya sekaligus baik uji formil maupun uji materialnya. Jangan sendiri-sendiri, sehingga pembentuk undang-undang kalaupun harus memperbaiki atau bahkan harus mengganti undang-undang itu, satu kali kerjaan. Sehingga tidak menimbulkan potensi bermasalah.
Lebih jauh Arsul mengatakan selama 18 tahun berdirinya, MK baru dua kali mengabulkan uji formil. Yang pertama pada UU KPK. Kemudian putusan bahwa KY tidak berhak mengawasi MK.
”Kayaknya MK mau menang sendiri. Karena sudah jelas bahwa KY itu. Mengawasi hakim-hakim lembaga peradilan. Lah kok MK nggak mau diawasi, ”katanya. (ar)