SURABAYA, beritalima.com | Di hari pertama puasa atau Ramadan, harga bawang merah dan bawang putih kompak bergerak naik pada perdagangan Kamis (23/3) siang. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) pukul 12.45 WIB, harga bawang merah tercatat naik 2,14% atau Rp800/kg menjadi Rp38.200/kg dari Rp37.400/kg. Adapun harga bawang putih dibanderol di Rp34.250/kg. Patokan harga tersebut lebih mahal 2,24% atau Rp750/kg dari perdagangan sebelumnya sebesar Rp33.500/kg. Fluktuasi harga tersebut kemudian menjadi perbincangan, yaitu direlevansikan dengan situasi konsumsi yang dialami masyarakat selama bulan Ramadhan 1444 H.
Adalah Lia Istifhama, Ketua DPD Perempuan Tani HKTI Jatim, menyampaikan pernyataannya terkait pola berkonsumsi di tengah fluktuasi harga Bulan Ramadhan.
“Pada bulan suci Ramadan yang oleh masyarakat terutama kaum umat muslim, sebagai momen menyambut hadirnya bulan syawal atau hari raya Idul Fitri nanti, patut kita ucapkan: ‘Alhamdulillah semua situasi normal’. Dalam hal ini terlihat jelas tidak ada panic bulliying,” jelasnya melalui seluler pada 25/3/23.
Doktoral Ekonomi Syariah UINSA tersebut juga menjelaskan keseimbangan antara supply dan demand di Jawa Timur.
“Harus kita akui, di Jawa Timur, sesuai apa yang disampaikan oleh ibu Gubernur Khofifah, bahwa stok beras Jawa Timur mengalami surplus sebesar 1,13 juta ton dari Maret hingga April 2023. Dengan begitu, masyarakat pun tidak perlu panik karena logistik dalam hal pangan, terutama beras sangat aman.”
Aktivis yang dalam tesisnya menulis tentang rasionalitas konsumsi, menjelaskan realita rasionalitas tersebut saat ini.
“Mengenai fluktuasi harga atau kenaikan harga beberapa komoditi misalnya, tidak terlihat kekhawatiran yang berlebihan. Hal ini dapat disebabkan masyarakat memiliki pola konsumsi yang rasional atau rasionalitas dalam berkonsumsi. Contoh dalam pemilihan atau preferensi berkonsumsi, masyarakat memiliki prioritas: ‘mana nih komoditas ataupun konsumsi yang harus dipenuhi saat ini atau sebagai short term planned dan mana kebutuhan yang menjadi long term planned yang tidak harus dipenuhi segera, misalnya dipenuhi minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan.”
Pola berkonsumsi yang rasional tersebut, dijelentrehkan olehnya sebagai indikator utama terbentuknya situasi ‘falah’ di hari lebaran mendatang.
“Sangat bijaknya masyarakat dalam berkonsumsi, patut kita syukuri karena inilah yang menjadi stimulus maupun indikator utama terbentuknya sikap falah atau kemenangan yang dapat diraih oleh umat muslim yang saat ini berpuasa. Dalam hal ini berlebaran misalnya, akan menjadi momen bersuka cita jika sebelumnya telah memiliki pola konsumsi yang bijak, karena tidak terlilit hutang.”
Perempuan yang aktif sebagai penulis sekaligus pemateri tersebut, juga menyampaikan pesan agar masyarakat tidak mudah tergoda meniru budaya flexing.
“Penting bagi kita untuk tidak mudah tergoda apalagi baper melihat orang lain yang sibuk flexing atau pamer kemewahan ketika nanti di hari raya. Kita cuek saja dan tidak perlu khawatir dan jangan sampai memaksakan diri sehingga terjebak utang akibat besar pasak daripada tiang. Toh yang flexing, bias jadi hanya kamuflase kekayaan. Yang utama, selama berpuasa, mari kita jadikan ibadah adalah momentum kita ber-healing, yaitu menenangkan hati melalui sikap tawakkal. Terpenting dari ini semua adalah tetap optimis atas apapun yang dihadapi.”