JAKARTA, Beritalima.com– Pemerintah dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus serius menangani radikalisme dan terorisme karena muncul di banyak tempat dan keberadaanya telah mengancam simbol-simbol negara.
“Penanganannya tak cukup hanya melarang orang berjilbab atau bercadar, melarang orang untuk bercelana cingkrang, tidak hanya di situ,” ungkap anggota Fraksi PDIP MPR RI, Muchamad Nabil Haroen.
Hal tersebut dikatakan Nabil dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Paham Kebangsaan untuk Mencegah Terorisme’, di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/11).
Selain Nabil, juga tampil sebagai pembicara dalam diakusi itu anggota Fraksi Partai Golkar MPR RI, Dedy Mulyadi, anggota Fraksi Demokrat MPR Dede Macan Yusuf Effendi dan praktisi Prodi Kajian Terorisme Sekolah kajian Stratejik & Global UI, Dr Can Sapto Priyanto.
Dalam menangani terorisme, kata Nabil, perlu perlu adanya perombakan dan skema kerjasama di antara kementerian lembaga dan badan-badan yang ada. “Kita punya Densus 88, BNPT, BPIP, BIN, Kemenhan, Kemenag dan banyak lagi. Ini skemanya seperti apa? Kenapa terorisme bisa tumbuh dengan subur,” kata dia.
Nabil melihat fenomena bahwa radikalisme-terorisme ini juga muncul di banyak tempat, bahkan sampai di salah satu counter roti yang melarang menulis ucapan selamat Natal di kue.
“Ini yang mensertifikasi siapa, MUI dan bahayanya MUI disini. Menurut saya bubarkan saja MUI. Ini boleh dikutip,” tegas Gus Nabil, begitu dia akrab sapa.
Menurut dia, melawan radikalisme dan terorisme tidak bisa dilawan dengan kekuasan dan kekerasan seperti yang dilakukan selama ini. “Selama ini ideologi radikalisme, terorisme banyak dilawan dengan kekuasaan dan kekerasan. Saya pikir pemerintah tidak bisa begitu, ideologi ya dilawan dengan ideologi.”
Jadi kalau melawan radikalisme dan terorisme dilawan dengan kekuasaan dan kekerasan, lanjut dia, justru akan membuat mereka semakin solid dan militan. Dicontoh melarang orang berjilbab dan celana cingkrang. Itu salah satu bentuk penggunaan kekuasaan yang ditunjukan sebagai pembantu presiden.
Menurut Nabil, langkah yang harus dilakukan itu harus berani memutus mata rantai ekstrimisme dan radikalisme ini dengan cara-cara baru, dengan cara cara yang elegan. Salah satunya dengan memutus mata rantai ekonomi mereka. Diputusnya melalui lembaga filantropi yang banyak mereka miliki.
Lembaga filantropi yang dimiliki oleh mereka yang pengelolaan dananya besar, bahkan bisa mengirimkan beasiswa ke luar negeri dan sebagainya. “Jadi menurut saya jauh lebih penting menertibkan lembaga filantropi yang berafiliasi kepada radikalisme dan terorisme daripada melarang bercadar dan celana cingkrang,” tegas Nabil.
Kemudian, pemerintah harus bisa memperkuat koordinasi dan kerjasama dengan ormas-ormas Islam yang sudah terkenal moderat selama ini, contohnya seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah kemudian dan yang lain-lain. (akhir)