JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H Mulyanto mendesak PT PLN (Persero) menyampaikan perkembangan hasil renegosiasi klausul Take or Pay (ToP) dengan pihak produsen listrik swasta atau IPP kepada publik.
Dalam keterangan pers yang diterima awak media, Rabu (18/2), Mulyanto mengatakan, ini penting agar publik mengetahui karakter kesetiakawanan nasional pengusaha yang menjadi produsen listrik swasta di tengah surplus listrik dan beban keuangan yang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN) listrik Negara.
Dikatakan, sosialisasi juga perlu dilakukan sebagai upaya menumbuhkan fungsi kontrol publik terhadap kualitas layanan yang ditawarkan. “Harapan kita tentu saja IPP mau berbagi beban (sharing the pain) atas kondisi ketenagalistrikan nasional yang tertekan akibat perencanaan yang keliru ditambah pandemi Covid-19 seperti sekarang.”
Sebelumnya, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Pembangunan dan Industri ini juga mendesak Pemerintah membantu PLN melaksanakan renegosiasi terkait besaran persentase TOP atas pembelian listrik swasta IPP tersebut.
Hal di atas disampaikan Mulyanto dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Listrik Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM dan Dirut PLN semi virtual di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen Senayan Jakarta beberapa waktu lalu sebagai tanggapan atas jawaban Dirut PLN, yang menyatakan tengah melaksanakan renegosiasi terkait klausul TOP dalam perjanjian pembelian listrik.
Pada kesempatan itu, Mulyanto mendesak PLN merenegosiasi terkait klausul TOP dengan pihak IPP di tengah pandemi dan surplus listrik seperti sekarang ini.
Seperti diketahui, Menteri Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI menyatakan, besarnya surplus listrik itu sudah mencapai 30 persen. Surplus tersebut jauh melebihi batas maksimal cadangan listrik.
TOP adalah klausul dalam kontrak perjanjian jual-beli listrik (PPA/ Power Purchase Agreement) antara PLN dengan IPP. Dalam PPA itu PLN wajib menyerap listrik sebesar prosentase minimal sesuai Availability Factor (AF) dari kapasitas terpasang. Nilainya dapat mencapai 80 persen dari kapasitas terpasang pembangkit listrik.
Klausul ini pada prinsipnya adalah insentif untuk mendorong pihak swasta agar mereka tertarik berinvestasi di sektor kelistrikan, khususnya bidang pembangkitan, sekaligus merupakan jaminan, agar listrik yang dihasilkan mereka dibeli PLN.
Kebijakan, kata wakin rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini cukup tepat di saat kita kekurangan pasokan listrik dan kemampuan modal Pemerintah untuk investasi di bidang pembangkitan masih lemah.
Namun, dalam kondisi sekarang dimana surplus listrik sudah sedemikian tinggi dan keuangan PLN yang tertekan utang mencapai Rp 500 triliun, klausul TOP ini menjadi sangat memberatkan. Karena PLN harus membeli dan membayar listrik yang tidak dibutuhkan. Klausul ini membengkakan besaran subsidi listrik serta suntikan dana kompensasi dari Pemerintah.
Karena itu, sudah selayaknya Pemerintah turun tangan membantu PLN melakukan renegosiasi atau meninjau ulang terkait besaran prosentase TOP dengan pihak IPP. Misalnya penurunan TOP 20 hingga 30 persen dari kontrak PPA, selama masa pandemi, kemudian dikembalikan saat kondisi sudah normal dan pertumbuhan permintaan listrik meningkat sesuai perencanaan. (akhir)