JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan Lingkungan Hidup (LH), Dr H Mulyanto menyesalkan sikap PT Freeport Indonesia (PTFI) yang terkesan mengabaikan kewajiban pembangunan smelter sebagai syarat mendapatkan perpanjangan izin operasional dan izin ekspor konsentrat tembaga.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI membidangi Industri dan Pembangunan tersebut mengatakan, kewajiban membangun smelter buati perusahaan tambang adalah amanat UU yang harus dipatuhi bersama. Jadi, tidak pantas jika pihak PTFI mencoba menawar ketentuan UU yang sudah disahkan Rapat Paripurna DPR RI dan diberlakukan.
“Tekait kewajiban pembangunan smelter yang diatur dalam UU No: 3/2020 tentang Minerba buat perusahaan tambang tembaga, sepantasnya tidak ditawar-tawar lagi. Proses pembentukan dan pengesahan UU itu sudah lewat. Kini saatnya kita melaksanakan UU tersebut secara konsekuen dan bertanggung-jawab,” tegas Mulyanto.
Menurut wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten itu Pemerintah harus tegas kepada PTFI terkait kewajiban pembangunan smelter karena itu adalah kewajibkan yang diperintahkan UU, obligasi bagi setiap elemen masyarakat kepada Negara, bukan tawar menawar bisnis yang bersifat horizontal.
Ini adalah hubungan vertikal-struktural antara unsur-unsur masyarakat dengan Negara, sebagai wujud pelaksanaan konstitusi kita. Karenanya harus dimengerti, bahwa itu tidak bersifat tawar-menawar, namun mengikat (binding) dan memaksa (compulsary).
“Kita kan Negara hukum. Semestinya PTFI menghormati UU yang berlaku di negeri ini. Jangan menganggap semua hal sebagai urusan dagang yang bisa dinegosiasikan. Ini adalah fakta, rule of the game, bila ingin hidup di Indonesia,” ujar Mulyanto.
Apalagi, kata dia, sejak akhir 2018, mayoritas saham PTFI atau 51 persen adalah milik Pemerintah Indonesia. Jadi, secara teoritis ini adalah BUMN kita. Karenanya menjadi tidak masuk akal kalau BUMN ingin menabrak UU. Ini preseden buruk, bagi tatakelola pengusahaan sumber daya alam di Indonesia.
“Menurut saya, ini sudah kelewatan. Saya protes keras. Sebab UU dibuat untuk dipatuhi oleh kita bersama, bukan dianggap “sebagai angin lalu”. Ini benar-benar melecehkan Indonesia sebagai Negara hukum. Menko Luhut Panjaitan juga terkesan hanya galak pada smelter nikel. Tidak terdengar suaranya terkait dengan smelter tembaga PTFI ini.”
Mulyanto menyorot kemajuan proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru PTFI yang hingga Juli 2020 baru 5,86 persen dari target seharusnya 10,5 persen. Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus konsisten dengan aturan yang dibuat yakni bersikap tegas dan menjatuhkan sanksi kepada PTFI karena lalai dalam mematuhi target kemajuan pembangunan smelter.
Pemegang gelar doktor nuklir Tokyo Institute of Technology (Tokodai) Jepang tersebut menyoroti pelaksanaan Surat Keputusan Menteri ESDM No.154 K/30/ MEM/2019, tentang ketentuan kemajuan fisik pembangunan smelter yang paling sedikit 90 persen dari target yang ada. Bila tidak tercapai, Pemerintah berhak menjatuhkan sanksi penghentian sementara persetujuan ekspor konsentrat.
Selain itu, perusahaan smelter wajib membayar denda administratif 20 persen dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri selama enam bulan terakhir. Selain itu juga ada beberapa sanksi administratif lainnya yang harus dipenuhi.
Menurut Mulyanto, hitungan kasar pencapaian kemajuan fisik smelter Freeport masih di bawah 50 persen. Karena itu, sanksi ini harus segera diputuskan Pemerintah.
Ini penting. Bila Pemerintah bersikap lembek dan tidak konsisten terhadap aturan yang ada, jangan heran kalau pengusaha tambang, ogah-ogahan dalam membangun fasilitas ini dan menuntut untuk dapat mengekspor konsentrat.
Bahkan Freeport secara berani dan terang-terangan melempar wacana untuk melanggar UU No: 3/2020, dengan mengusulkan penundaan target pembangunan smelter melebihi batas waktu yang ditetapkan UU, yakni tahun 2023.
Sebelumnya pelanggaran UU ini diajukan dengan alasan musibah wabah pandemi virus Corona (Covid-19). Kemudian muncul alasan baru, pembangunan smelter adalah proyek rugi. “Inikan sungguh lugas secara terbuka melawan UU. Kita sudah hapal dengan gaya ini. Karena sudah ada preseden sebelumnya. Pelanggaran UU No.4/2009 pertama kali dilakukan PTFI tahun 2014 dengan tetap mengekspor konsentrat dan itu berlanjut sampai tahun 2018, padahal amanat UU No.4/2009, smelter harus beroperasi tahun 2014.
Pada 2018, salah satu syarat bagi PTFI untuk mendapatkan perpanjangan dan perubahan dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah pembangunan smelter. Nyatanya, hingga hari ini syarat juga tidak dipenuhi. Sekarang PTFI minta relaksasi kembali untuk melanggar UU No.3/2020.
“Karena itu, saya mendesak Pemerintah untuk tegas melaksanakan dan mengawal amanat UU No. 3/2020 sebagai perubahan atas UU. No.4/2009 tentang Minerba, khususnya pasal 170A. Pemerintah jangan lembek, apalagi ikut melanggar UU tersebut,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)