JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto mendesak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk meningkatkan kinerja pengawasan, terutama terhadap BBM bersubsidi yang menjadi tanggung-jawabnya.
Berdasarkan
pengalamansebagaimana yang dilaporkan BPH Migas kepada Komisi VII DPR RI, kata politisi senior tersebut di Jakarta, akhir pekan ini, kebocoran BBM di berbagai daerah masih sering terjadi.
Akibatnya, lanjut Wkil Ketua Fraksi PKS bidang Industri dan Pembangunan tersebut, peruntukan BBM bersubsidi menjadi tak tepat sasaran, sehingga masyarakat secara umum menjadi dirugikan.
Sebelumnya, hal ini juga sudah disampaikan Mulyanto dalam acara Sosialisasi Tugas dan Fungsi BPH Migas di Kota Tangerang, Banten.
Dalam kesempatan itu hadir Komisoner BPH Migas, M Ibnu Fajar, Sekretaris BPH Migas, dan Staf Ahli Walikota Tangerang, Banten.
Berdasarkan data temuan BPH Migas sejak 2017, kasus penyalahgunaan BBM meningkat tajam. Dari temuan penyimpangan 187 kasus di 2017, bertambah menjadi 260 kasus di 2018 dan meningkat menjadi 404 kasus penyimpangan di 2019.
Pada sisi lain 2019 juga terjadi over kuota solar bersubsidi 1,7 juta kilo liter.
“Ini adalah temuan yang tak boleh dianggap enteng. Perlu kerja sungguh-sungguh untuk mengurangi atau bahkan menghapus temuan-temuan penyimpangan tersebut,” ujar Mulyanto.
Karena itu, Mulyanto mendesak BPH Migas mempercepat implementasi sistem digitalisasi nozel SPBU yang akan dioperasikan Pertamina.
Tujuannya agar pengawasan penyaluran BBM lebih ketat sehingga volume BBM bersubsidi yang dibayar pemerintah akan didasarkan pada volume BBM yang keluar dari nozel SPBU, bukan pada titik transportasi atau depo BBM.
Melalui sistem ini pembelian BBM pada malam hari juga akan terekam.
Terlebih lagi bila sistem ini sudah dapat mencatat nomor polisi kendaraan secara otomatis maka akan diketahui lebih cepat dan rinci terkait lokasi, kapan, kendaraan dengan nomor polisi berapa, serta berapa volume BBM bersubsidi yang dijual kepada masyarakat.
Untuk diketahui sekarang ini, titik serah terima BBM masih di tingkat depo bukan di tingkat SPBU. Sehingga data distribusi BBM antara depo dan SPBU kurang begitu jelas akuntabilitasnya.
“Titik ini harus mendapat perhatian secara serius,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)