JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) serta Lingkungan Hidup (LH) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto M.Eng meminta Pemerintah jangan manjakan perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) dengan mengorbankan secara bertahap fungsi layanan pembangkit listrik oleh PLN.
Kalau ini terus berlanjut, kata Wakil Ketua Fraksi PKS bidang Industri dan Pembangunanitu, dikhawatirkan dalam jangka panjang IPP dapat mendominasi usaha pembangkit listrik di dalam negeri. Dan, hal tersebut berpotensi memunculkan kartel listrik sehingga pada waktunya membuat harga listrik dapat didikte IPP atau pihak asing.
Pemerintah, kata Mulyanto harus punya komitmen menjadikan PLN sebagai perusahaan listrik yang andal agar dapat memberi pelayanan optimal kepada masyarakat. Sebagai perusahaan milik negara, PLN memang terikat beragam aturan dan ketentuan umum yang berlaku bagi semua organisasi bisnis.
Namun, sebagai kepanjangan tangan dalam melaksanakan amanah dari konstitusi, PLN juga berhak mendapatkan perlindungan negara agar tidak kalah dari kepentingan perusahaan asing. “Apalagi sejak 2018, tidak ada larangan asing masuk 100 persen dalam bisnis pembangkit listrik di atas 10 MWe,” jelas Mulyanto.
Legislator dari Dapil III Provinsi Banten tersebut menilai, kondisi PLN saat ini relatif baik. Laporan Keuangan PLN 2019 (audited) yang baru dirilis minggu ketiga Mei 2020 menunjukan Perusahaan Plat Merah itu berhasil mencatat laba Rp 4.3 trilun. Pencapaian ini menjadi bukti, PLN cukup baik menjalankan operasional perusahaan.
Meski demikian, lanjut Mulyanto, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan PLN dan Pemerintah agar profesionalitas perusahaan setrum itu semakin meningkat di masa datang. Pertama, laba yang diraih PLN saat ini disebabkan adanya dana suntikan subsidi dan kompensasi listrik Rp 73,9 triliun. Bila dana suntikan subsidi dan kompensasi dihilangkan, PLN akan tetap rugi.
Jika dibandingkan laporan keuangan 2018, yang mencatatkan laba Rp 11.6 triliun, sebenarnya tahun ini laba PLN turun 63 persen yoy. Ini karena beban hutang dan bunga yang harus dibayar Rp 24,6 triliun atau naik sekitar Rp 3 triliun dibanding tahun sebelumnya.
Kedua, secara aspek teknis layanan listrik dan elektrifikasi terjadi sedikit peningkatan tetapi dari segi efisiensi operasional pembangkitan, yang menggunakan indikator Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik, PLN bisa dibilang belum berhasil.
Tahun ini saja terjadi peningkatan biaya dari Rp 1.025 rupiah/kwh di tahun 2018 menjadi Rp 1.119 rupiah/kwh di 2019 atau naik 9 persen. “Bahkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020 naik menjadi Rp 1.465 rupiah/kwh. Ini artinya, PLN masih belum efisien,” ujar Mulyanto.
Dan ketiga, lanjut Mulyanto, berdasarkan data Kementerian ESDM, dari total pembangkit yang 64.9 GWe, PLN berkontribusi 40.8 GWe atau 63 persen dan 24.1 GWe atau 37 persen dikontribusikan IPP. Namun, pada sisi lain berbasis pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, diperkirakan akan ada tambahan pembangkit listrik 56.4 GWe dimana kontribusi PLN kurang dari 40 persen, sementara kontribusi IPP 33.7 GWe atau sekitar 60 persen.
Dan jika angka tersebut diakumulasi, peran IPP bertambah menjadi lebih kurang 50 persen. Peran IPP yang dominan ini memungkinkan munculnya kartel listrik, dimana harga listrik didikte pihak swasta, termasuk swasta asing. “Cuma yang menjadi masalah sesuai dengan pengakuan Dirut PLN dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI, secara umum harga listrik dari pembangkit PLN kalah efisien dibandingkan dengan IPP.
Pada sisi lain, karena kesulitan dana investasi, Pemerintah 2018 mengeluarkan bisnis pembangkit listrik > 10 MWe dari DNI. Itu sebabnya asing boleh masuk 100 persen pada bidang usaha ini. Bahkan pemerintah meminta PLN fokus pada bidang transmisi dan distribusi. “Kondisi ini tentu akan mengerdirkan peran PLN dalam menyediakan listrik bagi masyarakat. Dan ini patut dikhawatirkan,” kata Mulyanto.
Sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dari negara, sekaligus aktor monopoli bidang transmisi dan distribusi listrik, kedudukan PLN sudah sangat kuat secara konstitusional. Namun. Mulyanto melihat peran negara masih belum maksimal untuk menjadikan PLN sebagai perusahaan listrik yang tangguh.
“PLN masih rentan diintervensi kelompok kepentingan tertentu. Akibatnya operasional dan manajemen PLN sering terganggu dan terkesan tidak maksimal melayani masyarakat. Untuk itu Mulyanto mendorong dilakukan reformasi kelembagaan PLN. Sehingga PLN semakin efisien, profesional, mandiri dan murah,” dengan Dr H Mulyanto M.Eng. (akhir)